Konteks ayat ini berkaitan dengan kejadian mengenaskan yang menimpa umat-umat terdahulu.
Mereka memiliki kekuatan yang hebat dengan kepintaran di atas rata-rata manusia. Namun mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran secara masif sehingga Allah murka dan membinasakannya.
Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:
وَكَمْ اَهْلَـكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنْ قَرْنٍ هُمْ اَشَدُّ مِنْهُمْ بَطْشًا فَنَقَّبُوْا فِى الْبِلَا دِ ۗ هَلْ مِنْ مَّحِيْصٍ
“Dan betapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, (padahal) mereka lebih hebat kekuatannya daripada mereka (umat yang belakangan) ini. Mereka pernah menjelajah di beberapa negeri. Adakah tempat pelarian (dari kebinasaan bagi mereka)?” (QS. Qaf : 36)
Dalam kitabnya Al-Fawaid, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengomentari bahwa syarat hamba yang bisa mengambil pelajaran setidaknya ada tiga.
Pertama, yang memberi pengaruh. Dengan membaca Alquran atau musibah yang menimpa umat terdahulu bisa menjadi pelajaran penting.
Kedua, ada wadah /tempat atau hati yang siap menerima nasihat kebenaran. Adanya musibah itu bisa memberi bekas untuk melakukan perenungan.
Ketiga, menyiapkan hati untuk menerima nasehat. Musibah yang hadir membuat hati siap untuk menerima kenyataan dan mengambil pelajaran.
Ketika Alquran menceritakan musibah umat terdahulu yang hancur dalam kehinaan, maka bagi mereka yang memiliki hati dan pendengaran, serta mata yang jernih, bisa mengambil pelajaran.
Tiga komponen itu menggerakkan dirinya untuk tidak melakukan hal yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah. Dengan membaca Alqur’an, maka hatinya akan tergerak berbuat baik guna menghindarkan diri dari musibah dan kehancuran.
Menggunakan hati, pendengaran, dan mata telanjang merupakan sarana untuk mengagungkan Allah dan menyandarkan hidup pada-Nya.