Kembali ke Fitrah Tanpa Kebencian
UM Surabaya

Bahagia benar membaca banyak postingan Lebaran di media sosial (medsos), kurun waktu terakhir. Menebar salam. Saling bermaaf-maafan. Saling bersilaturrahim. Menyapa kawan seiring dalam kerinduan.

Foto-foto keluarga bertebaran dengan lambaian salam dan ketulusan. Teaser, meme, vlog dengan pesan damai dan menyejukkan di hari nan fitri.

Berharap ampunan atas semua kealpaan dan kekhilafan. Dari pribadi yang berlumur dosa. Tak lupa memanjatkan doa, agar dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan. Momen Idul Fitri memang punya magnet tersendiri.

Hanya, pemandangan syahdu ini dikhawatirkan tak akan bertahan lama. Apalagi di tahun politik seperti sekarang.

Pasca Lebaran, pemandangan medsos agaknya bakal berubah total. Bakal banjir lagi meme caci maki, olok-olok, menyebar kebencian, tuding-menuding, bahkan fitnah. Medsos bakal diwarnai pemandangan yang murka, amarah, dan syak wasangka.

Tak cuma itu saja. Ke depan, kita pun bakal melihat banyaknya narasi, analisis, opini, prediksi, dan sejenisnya dengan mengusung kepentingan dan “menyerang” orang-orang yang dianggap musuhnya.

Ada yang vulgar, sarkasme, nyinyir, dan berbau sara. Celakanya, kondisi ini kerap berujung pada gugatan. Bahkan tak jarang menyeret mereka ke jeruji besi.

Yang memprihatinkan, beda persepsi juga berbuah benci. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kawan bertikai hebat gara-gara berbeda pendapat soal preferensi politik.

Diskusi akademik tak jarang berujung panas dengan saling “menguliti” pribadi dan saling klaim dogma.

Perdebatan panjang diimbuhi pemihakan pada akhirnya membuat keretakan pertemanan atau persahabatan. Muncul friksi-friksi. Dari kecil, lalu melebar, mendalam, dan membesar. Seperti jalan rusak yang dibiarkan tanpa perbaikan.

Ketidaksepakatan menjadi perdebatan yang tajam. Mengerek tinggi-tinggi bendera permusuhan. Sesumbar, tantangan, dan ancaman menyeruak tanpa pernah bisa dikendalikan.

***

Kita musti menginsyafi nasihat ini: Akhlak yang baik adalah kebahagiaan tersendiri. Sedang akhlak yang buruk adalah petaka dan bencana. Keramahan budi pekerti dan kelapangan nurani adalah sebuah nikmat yang disegerakan (diturunkan di dunia).

Kegembiraan itu dihadirkan (ketika masih di dunia) bagi siapa saja yang Allah kehendaki untuk menjadi baik. Emosi yang berlebihan, mudah tersinggung, dan meledak-ledak marah adalah petaka yang terus menerus dan siksa yang abadi.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekelilingmu.” (QS. Ali ‘Imran:159).

Rasanya, kita patut merenungkan pesan yang dilontarkan banyak kaum sufi: “Bahwa persaudaraan bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Persaudaraan adalah sesuatu yang harus Anda lahirkan.

Anda tidak dapat memetik kecintaan bila menanam kebencian. Anda tidak akan memperoleh saudara bila bertindak sebagai musuh. Anda tidak akan memanen ketulusan dari orang lain bila memelihara kemunafikan.”

Lebaran, pantaslah kiranya kita menginsyafi diri. Agar tetap mawas diri dalam bertutur, bertindak, dan berperilaku terhadap sesama.

Kita butuh mengubur dalam-dalam syak wasangka. Menjauhkan kebencian dengan merajut silaturrahim. Tetaplah berusaha menjadi insan kamil dan pribadi terbaik.

Pada ujungnya, Rasulullah berpesan: “Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan salat, puasa, dan zakat, tetapi ia selalu mencaci maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain.

Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi.

Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk diberikan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka. (HR. Muslim)

Wallahualam bissawab.(*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini