Persamaan dan Perbedaan Metode Wujudul Hilal dan Metode Imkanurrukyah
UM Surabaya

Setiap bulan, terdapat keadaan matahari-bulan-bumi pada posisi segaris, yang disebut ijtimak atau konjungsi.

Jika garis lurus itu sangat dekat dengan simpul orbit bulan-orbit bumi, terjadilah gerhana, yakni gerhana matahari.

Ijtimak Itu secara alami menandai awal dan akhir kalender lunar atau rembulan. Oleh karena itu, sebagian kalangan menjadikan ijtimak sebagai dasar awal bulan Hijriah.

Tetapi dalam hadis, yang dijadikan cara untuk mengetahui awal bulan Hijriyah adalah rukyatul hilal.

Hal itu bisa dipahami karena ijtima tidak mungkin dilihat dengan mata telanjang, kecuali pada saat terjadi gerhana.

Maka, pada zaman Nabi Muhammad, hilal itu diketahui melalui rukyat atau penyaksian langsung dengan mata telanjang saat matahari tenggelam sehingga awal bulan Hijriyah terjadi setelah maghrib.

Secara prinsip, hilal baru muncul setelah ijtima dan hilal tampak ketika matahari terbenam lebih dulu dibandingkan rembulan. Semua itu terjadi dalam batas horizon atau ufuk.

Alhasil, itulah dua prinsip penentuan awal bulan Hijriyah. Pertama, ijtimak. Kedua, hilal di atas ufuk, karena sebelum ada ijtimak posisi bulan pasti di bawah ufuk saat matahari tenggelam.

Namun jika rukyatul hilal sebagai batasan datangnya bulan baru, bukan sekadar fenomena alami ijtimak dan hilal di atas ufuk, maka dibutuhkan dua ketentuan lagi untuk memastikan hilal bisa dilihat, yaitu tinggi hilal (ketinggian bulan sabit yang memungkinkan dilihat) dan elongasi (jarak sudut langsung bulan-matahari).

Inilah yang membedakan penganut imkanurrukyah dan wujudul hilal.

Kriteria Wujudul Hilal

Bagi penganut wujudul hilal, dua fenomena alami, yaitu ijtimak dan hilal di atas ufuk saat matahari tenggelam sudah mencukupi untuk menentukan datangnya bulan baru.

Dua kriteria di atas sering dipilah menjadi tiga, tapi prinsipnya ada pada dua di atas.

Meski keduanya sulit atau tidak bisa dilihat mata, maka sistem penghitungan (hisab) dan teknologi sekarang bisa membantu untuk mengetahui keduanya, bahkan ketika hilal sangat rendah.

Kriteria Imkanurrukyah

Tetapi bagi penganut imkanurrukyah harus ada batas minimal ketinggian hilal dan batas minimal sudut elongasi agar hilal bisa terlihat.

Jika hilal terlalu rendah atau posisi bulan terlalu dekat dengan matahari, maka hilal sulit dilihat sehingga dikhawatirkan yang terlihat adalah cahaya selain hilal.

Belum lagi ada cahaya planet lain, yaitu Venus, yang kadang terlihat seperti hilal sehingga bisa menipu pandangan.

Sebagai tambahan, ada syarat ketiga, yaitu usia bulan. Ijtima disyaratkan terjadi 7-8 jam sebelum matahari tenggelam untuk memastikan hilal benar-benar tinggi, sebagaimana kriteria MABIMS sebelum ini.

Atau, jika mau ditambahkan ada lagi, selisih azimuth antara bulan dengan matahari menjadi parameter tambahan untuk mendapatkan “lebar hilal”, sebagaimana Yallop dan Odeh lakukan.

Untuk memastikan rukyat yang akurat perlu pula diperhatikan uap air, mendung, dan debu-debu angkasa yang bisa membiasakan atau mengganggu cahaya hilal.

Namun, fenomena ijtimak dan elongasi ini tidak mudah atau tidak bisa dilihat oleh mata, kecuali dengan simulasi.

Juga, posisi hilal dan kapan muncul juga tidak mudah diketahui secara langsung, apalagi jika durasi hilal nampak tidak lama. Untuk ketiga keperluan itu, penganut imkanurrukyah juga membutuhkan hisab.

Namun, datangnya awal bulan Hijriah ditentukan oleh kemampuan manusia melihat hilal, bukan pada fenomena alam semata.

Kesimpulan

Teori Wujudul Hilal dan Teori Imkanurrukyah punya persamaan dan perbedaan.

1. Persamaan

a. Keduanya menjadikan ijtimak sebelum matahari tenggelam (ghurub) sebagai syarat pergantian bulan

b. Keduanya menjadikan hilal di atas ufuk sebagai dasar datangnya bulan baru

c. Bulan Hijriyah dimulai setelah maghrib.

d. Keduanya menggunakan hisab sebagai sarana

2. Perbedaan

a. Teori Wujudul Hilal mencukupkan dengan kriteria ijtimak sebelum ghurub dan hilal di atas ufuk sebagai penanda datangnya bulan baru

b. Teori Imkanurrukyat menambahkan tiga kriteria bagi dua kriteria di atas: yaitu tinggi hilal, sudut elongasi, dan usia bulan, serta perhatian pada hal-hal yang bisa mengganggu rukyah (faktor lingkungan lain yang dimungkinkan mengganggu rukyah).

c. Penentuan pergantian bulan bagi Wujudul Hilal adalah pengetahuan akan fenomena ijtimak dan hilal di atas ufuk, tanpa harus dengan verifikasi rukyah langsung.

d. Penentuan pergantian bulan imkanurrukyah, selain pemenuhan kriteria-kriteria di atas juga ditentukan kemampuan verifikasi manusia melalui penglihatan langsung pada hilal. (*)

Penulis: Dr. AHWAN FANANI M.Ag.M.S , Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Tengah

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini