Agama terstruktur dalam tiga unsur utama, yakni inti (substansi), bentuk (norma-norma syariah), dan manifestasi dalam wujud amal salih.
Manifestasi pengalaman agama dalam amal saleh dapat dibedakan dalam tiga cakupan, yakni intelektual, aksional, dan ekspresional.
“Manifestasi pengalaman agama dalam wujud amal salih itu dari segi cakupannya dapat dibedakan menjadi: manifestasi intelektual, manifestasi aksional, dan manifestasi ekspresional,” ujar Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar dalam Pengajian Ramadan 1445 H di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (15/3/2024).
Menurut Syamsul, manifestasi intelektual meliputi tindakan berpikir yang menghasilkan karya-karya seperti fikih, tafsir, hadis, kalam, dan filsafat yang memberikan pemahaman mendalam terhadap ajaran agama.
Sementara itu, manifestasi aksional melibatkan tindakan perilaku baik baik secara individu maupun kolektif, seperti salat, membentuk komunitas, atau memulai gerakan sosial yang didasarkan pada nilai-nilai agama.
Di sisi lain, manifestasi ekspresional mencakup tindakan ekspresi seperti seni dan budaya yang dipengaruhi oleh nilai-nilai agama.
Dari segi bentuk, kata Syamsul, manifestasi pengalaman agama dapat dibagi menjadi dua: terpolakan secara ketat dan tidak terpolakan secara ketat.
Manifestasi yang terpolakan secara ketat mengacu pada ibadah mahdah, di mana tata cara pelaksanaannya sudah diatur dengan jelas dalam teks Alquran dan hadis.
Sebagai contoh, salat memiliki aturan yang ketat sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan.
Meskipun demikian, aspek kebudayaan juga dapat memengaruhi pelaksanaannya, seperti penggunaan kopiah dalam salat.
Di sisi lain, manifestasi yang tidak terpolakan secara ketat mencakup aspek muamalah yang sebagian besar belum diatur atau masih dapat diubah sesuai dengan kebutuhan dinamis masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seorang kiai mengajarkan Alquran pada murid-muridnya dengan cara duduk melingkar, hal ini merupakan manifestasi pengalaman agama yang tidak terpolakan secara ketat karena tidak ada tuntunan syariat yang detail terkait pengajaran.
“Berdasarkan penjelasan di atas, agama membuka ruang yang luas bagi ekspresi seni dan budaya. Meskipun terdapat aspek-aspek yang diatur secara ketat, agama tidaklah statis dan kaku dalam menghadapi dinamika budaya. Sebaliknya, agama secara inheren memungkinkan perubahan dan adaptasi yang mengakomodasi perkembangan budaya manusia,” jelas Syamsul.
Dengan demikian, terang Syamsul, agama bukanlah penghalang bagi perkembangan seni dan budaya, melainkan menjadi sumber inspirasi dan landasan moral yang memperkaya dan memberi makna pada ekspresi manusia dalam berbagai aspek kehidupan. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News