Di sisi lain, kader-kader IMM masih lemah dalam literasi. Itu dapat dilihat masih sepinya literasi-literasi IMM mengenai ide-ide, sejarah, gerakan dan gagasan kritis, sehingga hal ini dapat menjadi stagnan dalam berpikir maupun bergerak dalam membaca realitas ke depan.
Masalah tersebut menjadi problem bagi IMM, apalagi jika para aktivis milenial dan generasi Z, yang cenderung malas untuk membaca ataupun menulis dan lebih menyukai hal-hal yang sifatnya instan atau cepat bahkan cenderung pragmatis.
Kondisi ini juga berdampak bagi IMM yang kurang produktif dalam memberikan gagasan kritisnya, padahal IMM mempunyai tanggung jawab dalam memikul perubahan terhadap masyarakat agar tercerahkan.
Selain itu, terkait problem minimnya subtansi forum-forum penting yang diadakan oleh pimpinan kepengurusan. Forum-forum penting dan besar seperti halnya tanwir maupun muktamar terkadang tidak menjadi titik poin untuk melahirkan ide-ide ataupun gagasan kritis yang dapat memberikan tawaran ide maupun gagasan inovatif mengenai langkah IMM ke depan.
Justru forum-forum tersebut hanya sebagai ajang untuk kepentingan-kepentingan tertentu, dan hal tersebut yang harus diminimalisasi dan dikembalikan lagi substansi sebagaimana mestinya.
Dalam hal merancang grand design pengaderan atau visi-misi di tingkat kepengurusan, terkadang kepengurusan tidak mengetahui apa yang menjadi kebutuhan IMM hari ini. Mereka terkadang hanya sebatas mengikuti periodesasi sebelumnya dalam hal ini biasanya dalam bentuk program kerja.
Tentu itu bukanlah hal yang salah, akan tetapi apakah program kerja tersebut masih relevan atau tidak jika digunakan hari  ini, dan itu dapat menyebabkan tidak adanya perubahan atau ciri khas yang signifikan di setiap pergantian kepengurusan.
Jika persoalan-persoalan tersebut masih dipertahankan, bisa jadi IMM sama halnya sebuah lokomotif yang tidak mempunyai tujuan yang jelas. Seiring berjalannya waktu akan ditinggalkan oleh penumpangnya.
Maka dari itu, perlu langkah-langkah progresif di tubuh ikatan. Berbicara progresif yang sama halnya dengan makna kata transformatif maupun inklusif yang tidak asing lagi untuk IMM. Yang secara sederhana dapat dimaknai sebagai upaya langkah konkret melalui aksi atau tindakan melalui pemahaman terhadap realitas, dalam hal ini dari tekstual menuju kontekstual yang tentu saja berorientasi terhadap kemajuan.
Jika berorientasi pada kemajuan IMM, dapat dilihat dari beberapa aspek untuk mengarah pada progresivitas. Pertama, sejauh mana IMM melakukan proses pengaderan ataupun kaderisasi di tingkat komisariat yang menjadi gerbang utama dalam penanaman ideologi dan mencetak kader-kader yang nantinya diharapkan menjadi bibit unggul dalam melakukan transformasi dakwah?