Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, Zakiyuddin Baidhawy, mengibaratkan pergerakan wacana di Muhammadiyah seperti permainan sepakbola Jerman yang menguasai bola sebelum mencetak gol. Menurutnya, ide-ide di lingkungan Muhammadiyah sering kali menggelinding terlebih dahulu sebelum menjadi keputusan resmi organisasi, mirip dengan strategi permainan Jerman.
“Dalam analogi sepakbola, Muhammadiyah seperti Jerman. Banyak menguasai bola, tapi akhirnya mencetak gol. Ini mencerminkan pentingnya seni dan budaya dalam dakwah, di mana wacana-wacana yang dibicarakan akhirnya menjadi keputusan resmi,” ungkap Zakiyuddin saat Pengajian Ramadan 1445 H di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Jumat (15/03/2024).
Menurutnya, pentingnya seni dan budaya dalam dakwah telah menjadi perbincangan sejak tahun 70-an dan 80-an, namun baru diresmikan sebagai keputusan organisasi pada tahun 90-an dan awal 2000-an. Hal ini menunjukkan evolusi pergerakan wacana di Muhammadiyah menuju keputusan yang lebih konkret dan terukur.
Setelah menjelaskan pentingnya peran seni dan budaya dalam Muhammadiyah, Zakiyuddin Baidhawy merujuk pada sejumlah dokumen penting dalam sejarah Muhammadiyah, seperti Tanwir di Bali 2002, Makassar 2003, dan Mataram 2004 tentang dakwah kultural.
Bahkan, dalam Muktamar ke-45 di Malang pada 2005, pembahasan mengenai dakwah kultural menjadi fokus utama yang mendapat perhatian serius. Keputusan untuk mengadopsi strategi dakwah kultural dianggap penting bagi perkembangan persyarikatan, karena selama ini dakwah Muhammadiyah kurang mengakomodasi budaya lokal.
Salah satu contoh keberhasilan strategi dakwah kultural adalah keputusan untuk menambah waktu subuh delapan menit, yang dihasilkan dari Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31 tahun 2020. Meskipun ini keputusan Muhammadiyah, namun banyak disambut baik oleh lintas gerakan Islam lainnya mengimplementasikan keputusan tersebut dengan menyesuaikan waktu subuh.
Hal ini menunjukkan bahwa langkah-langkah konkret dalam mengakomodir budaya lokal dapat memberikan dampak positif dalam dakwah Muhammadiyah.
Menurut Zakiyuddin, karakteristik utama dari dakwah kultural adalah dinamis, kreatif, inovatif, dan purifikatif. Ini berarti dakwah kultural membutuhkan para juru dakwah untuk memahami dengan baik ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem aktivitas, simbol, dan aspek-aspek lain dari budaya lokal.
Dakwah kultural bukan hanya sekadar menyampaikan pesan agama, tetapi juga melibatkan upaya konkret untuk beradaptasi dengan budaya lokal serta mengubahnya secara positif sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Ini menegaskan pentingnya Muhammadiyah dalam memperjuangkan dakwah yang tidak hanya relevan dengan zaman dan tempat, tetapi juga memperkaya dan memperkuat budaya lokal yang menjadi basisnya.
“Dinamis, kreatif, inovatif harus didahulukan daripada purifikatifnya. Boleh purifikatif dengan pengertian bahwa integrasi nilai-nilai Islam dalam budaya partikular, relatif, dan temporal,” ucap Rektor Universitas Islam Negeri Salatiga ini.
Pentingnya Muhammadiyah dalam konteks dakwah kultural juga tercermin dalam pemahaman akan kompleksitas budaya. Budaya tidak hanya bersifat given, tetapi juga merupakan hasil dari konstruksi sosial. Dalam konteks ini, Zakiyuddin mengatakan bahwa Muhammadiyah dianggap sebagai entitas yang harus ditempatkan di tengah-tengah, menghadapi dualitas antara budaya yang telah ada dan budaya yang terus berubah.
Pemahaman akan dualitas ini menjadi bagian penting dalam peran Muhammadiyah. Persyarikatan tidak hanya berusaha mempertahankan nilai-nilai yang telah ada dalam budaya lokal, tetapi juga berperan dalam mempengaruhi konstruksi sosial budaya untuk menciptakan transformasi positif sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News