Di samping itu, terdapat satu lagi harapan masyarakat, bahkan lebih-lebih merupakan harapan yang mampu mengalahkan segudang harapan sebelumnya. Harapan tersebut yakni keinginan masyarakat kepada sosok pemimpin yang amanah.
Pemimpin yang mampu menunaikan tugas dan janjinya kepada umat dan bangsa, bukan mereka yang tunduk kepada korporat. Sosok yang mampu menaungi jeritan dan tangisan rakyatnya menghadapi ketidakadilan.
Tidak lain, bahwa tugas untuk menunaikan amanah, adalah bentuk penyelenggaraan keadilan Allah melalui tangan-tangan manusia.
Sebab, keadilan yang sebenarnya, hanya bisa diwujudkan bila amanah yang diemban oleh setiap pemimpin atau pemangku kebijakan di setiap jenjangnya ditunaikan secara sempurna.
Allah SwT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 58:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58).
Al-Farra berpendapat, adil bermakna perlakuan setara tanpa memandang jenis (latar belakang, golongan atau tendensi lainnya).
Sudah barang tentu, bahwa keadilan itu hanya dapat dicapai bila seluruh rakyat yang dinaungi oleh kebijakannya itu mendapatkan hak yang setara dengan kewajiban yang proporsional.
Orang-orang yang senantiasa menunaikan amanah, termasuk ke dalam golongan orang-orang mukmin dan mushalin. Allah berfirman dalam QS. al-Ma’arij ayat 32:
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Mu’minun: 8 & QS. Al-Ma’arij: 32).