*) Oleh: Rumini Zulfikar,
Penasihat PRM Troketon
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan, dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya? Dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta menutup penglihatannya. Maka siapakah yang mampu memberi petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. Surat Al-Jatsiyah ayat 23)
Ibadah puasa yang kita laksanakan saat ini adalah sebuah pengejawantahan dari pancaran nilai-nilai tauhid atau keimanan kepada Allah pada umat-Nya yang mendapatkan hidayah atau petunjuk.
Pada dasarnya, puasa merupakan bagian dari rangkaian rukun Islam yang ketiga, setelah syahadat dan salat. Ibadah puasa merupakan metode yang menghubungkan baik secara batin maupun lahiriah.
Jika kita mau introspeksi diri, kadang-kadang secara tidak disengaja, kita menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari, hawa nafsu kita tidak terkontrol. Hal ini dapat menyebabkan kita menyembah hawa nafsu kita sendiri.
Akal budi dan akhlak mungkin telah terkontaminasi oleh bujukan setan sehingga tindakan atau perilaku kita tidak selaras dengan tuntunan agama, baik dalam urusan ekonomi, politik, sosial, budaya, kemasyarakatan, maupun berbangsa dan bernegara.
Kita kadang merasa kuat dalam kehidupan ini, seolah-olah kita adalah penguasa tunggal. Hal ini terjadi terutama ketika memiliki kekuasaan, jabatan, atau materi, sehingga manusia melebihi Tuhannya, seperti contoh Raja Fir’aun, Namrud, dan Abraha.
Di era perkembangan ilmu dan teknologi, jika tidak dikelola dengan baik, kita akan menjadi umat yang terjebak dalam kejahilan di era modern.
Surat Al-Jatsiyah menggambarkan orang yang menyembah hawa nafsunya, di mana pendengaran dan penglihatannya dikunci oleh Allah. Allahlah yang memberi Hidayah dengan hak prerogatif-Nya.
Ibadah puasa adalah refleksi dari proses perjalanan nilai-nilai yang luhur, yang menata dan menuntun manusia dengan menyelaraskan hati, pikiran, dan perilaku, sehingga terjadi keseimbangan atau harmoni.