Kaum mukminin juga merasakan sakit. Hal itu terungkap dalam percakapan sahabat Nabi, Amru bin Ash. Saat sakaratul maut Amru ditanya oleh anaknya tentang rasanya sakaratul maut. Dia menjawab, demi Allah dua sisi tubuhku seakan-akan berada dalam himpitan. Nafasku seakan-akan keluar dari lubang jarum. Dan sebuah duri ditarik dari ujung telapak kaki hingga ujung kepalaku.
Meski sama-sama merasakan sakit tetapi berbeda cara menyikapi rasa sakit antara kaum mukminin dengan kaum dzalim maupun pendosa. Orang dzalim dilanda gelombang kaget. Mereka tidak pernah mengira ini akan terjadi. Mereka mencoba berontak. Marah. Melawan. Semakin meronta maka semakin sakit ibarat menarik duri yang nyantol di kerongkongan, semakin ditarik semakin perih.
Tatkala menyadari bahwa itu gerbang kematian, mereka mencoba menawar. “Lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” (QS al Munafikun 10).
Tentu saja Allah tanpa kompromi soal waktu kematian. Jika sudah jadi ketetapan-Nya, tidak bisa ditunda maupun dipercepat. “Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”(QS Al Munafikun 11)
Sedang orang mukmin dengan kualifikasi tertentu menghadapi sakitnya sakaratul maut dengan tenang. Bagi mereka sakit dalam sakaratul maut adalah qadarullah, ketetapan Allah sebagai ujian terakhir manusia hidup sebelum memasuki kehidupan kekal abadi. Mereka ridha atas ketetapan itu.
Ridha inilah yang menjadi kunci rasa sakit menjadi ringan. Bukan lagi beban. Peristiwa sakaratul maut bukan lagi horor mengerikan melainkan sebuah episode biasa-biasa saja, bahkan dihadapi dengan hepi. Keinginannya ingin segera ketemu Allah membuat segalanya mudah.
Mereka mafhum bahwa ada berkah di balik sakitnya itu. Yaitu sebagai kafarat atau tebusan dosa-dosanya. Orang mukmin akan selalu bersikap rendah hati mengakui dirinya hamba yang penuh dosa. Tidak akan mengatakan dirinya suci di hadapan Allah.
Mereka juga yakin sakaratul maut adalah bagian dari fitnah (ujian) mati. Sakit itu sebagai sarana ketika Allah mau menaikkan derajatnya. Allah akan memberikan kebaikan kepadanya.