Bilamana kondisi seperti ini, maka tidak satu pihak pun yang akan mampu mengendalikannya. Hal ini dinarasikan dengan baik oleh Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَ ضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً ۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jasiyah : 23)
Perbuatan melampaui batas yang dilakukan manusia, di samping karena sulitnya mengendalikan hawa nafsu, Allah juga membiarkan hal itu berlangsung.
Allah telah mengunci mati pendengaran, penglihatan dan hatinya, sehingga manusia berbuat maksiat secara mudah. Kondisi yang demikian tidak membuat manusia mengambil pelajaran.
Pertemuan dengan Tuhan
Manusia bebas melakukan perbuatan, entah baik atau buruk, dan itu semua akan kembali kepada dirinya. Ketika berbuat baik, maka kebaikan akan kembali pada dirinya.
Sementara ketika berbuat buruk maka keburukan akan menimpa dirinya. dalam kehidupan ini, seseorang yang tekun dan rajin salatnya, suka membantu meringankan beban orang lain, maka Allah akan membalas dengan memudahkan urusannya di dunia, dan di akhirat akan mendapatkan kelapangan hidup.
Sebaliknya orang yang berbuat kejahatan seperti lalai menjalankan kewajiban agama, dan bahkan mudah melakukan kemaksiatan, seperti meninggalkan salat, lalai zakat, terbiasa berbuat curang, dan bahkan menghalalkan korupsi serta tidak mau menegakkan keadilan, maka Allah pun menutup pintu kebaikan, dan bahkan terjerumus dalam kejahatan sosial.