Hidayah adalah mutlak milik Allah. Wewenang sepenuhnya ada di tangan-Nya. Rasulullah sendiri tidak diberikan hak oleh Allah SWT untuk memberikan hidayah kepada orang lain, sekalipun kepada keluarga, sahabat atau orang yang beliau cintai.
Sebagai contoh, seperti Abu Thalib, paman Nabi. Beliau adalah orang yang sangat mencintai Rasulullah. Beliau adalah orang yang sangat berjasa terhadap keberadaan Islam dan kaum Muslimin di masa Rasulullah.
Beliau adalah orang yang setiap saat menyaksikan betapa kemuliaan, kejujuran dan keindahan budi pekerti Rasulullah. Beliau adalah orang yang senantiasa menyaksikan betapa kebesaran mukjizat Rasulullah.
Namun apa hendak dikata, ternyata di akhir hayat beliau, paman Nabi yang bernama Abu Thalib ini, tidak sempat mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kenapa? karena tidak mendapat hidayah Allah SWT. Padahal sebelumnya Rasulullah saw sudah berusaha sebisa-bisanya membujuk dan membimbing beliau, namun malah justru tidak dihiraukan oleh beliau.
Melihat keadaan pamannya yang sedemikian ini, tak dapat dielakkan lagi, berlinanglah air mata beliau. Rasulullah benar-benar sedih hatinya, sehingga terucaplah permohonan sekaligus pengaduan beliau untuk meminta pertimbangan Allah terhadap keadaan pamannya ini. Namun justru pengaduan Rasulullah tersebut mendapat teguran keras dari Allah SWT.
Karena itu Rasulullah menyadari akan kelemahan dirinya di hadapan Allah SWT. Beliau tidak bisa berbuat banyak tanpa izin Allah, tanpa kehendak Allah.
Dan Allah Maha Tahu serta Maha Bijaksana terhadap apa yang menjadi keputusan-Nya kendati menurut kacamata manusia mungkin dirasa kurang adil.
Beruntunglah kita saat ini, karena telah ditakdirkan Allah menjadi orang-orang yang dianugerahi nikmat Hidayah atau nikmat iman dan Islam. Sebab tidak semua orang dapat memperolehnya.
Lagi pula, Rasulullah dalam sebuah hadis beliau pernah bersabda: “Sangat berbahagia sekali, orang yang pernah bertemu dengan aku, kemudian ia beriman”. Akan tetapi justeru Nabi mengulanginya sampai tiga kali, kata beliau : “Lebih berbahagia lagi, lebih berbahagia lagi, lebih berbahagia lagi, orang yang tak pernah bertemu dengan aku, namun ia beriman, ia percaya.”
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْم