Dalam hal membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau berdoa, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk disampaikan kepada umat Islam, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Isra’ (17): 110;
قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَـنَ أَيّاً مَّا تَدْعُواْ فَلَهُ الأَسْمَاء الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً.
“Katakanlah; Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (al-Asmaa al-Husna) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.”
Dalam tafsir Ibnu Katsir terdapat beberapa riwayat yang menyangkut asbabun-nuzul ayat ini yang dapat dijadikan jawaban atas pertanyaan ini.
Pertama, menurut Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengeraskan suara beliau ketika membaca Al-Qur’an dan orang-orang musyrik mendengarkannya dan memaki beliau, lalu Allah menurunkan ayat tersebut sebagai petunjuk bagaimana seharusnya membaca atau berdoa.
Jika demikian dapat dikatakan bahwa jika suara keras dalam bacaan atau doa menimbulkan gangguan terhadap orang lain, melahirkan pandangan negatif atau makian dari pihak lain, maka sebaiknya suara dikecilkan sehingga tidak berakibat buruk.
Kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendengar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berada di rumahnya berdoa dan membaca al-Quran dengan suara yang sangat lembut.
Sebaliknya ketika melewati rumah Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar suaranya sedemikian keras.
Keesokan harinya beliau bertanya kepada Abu Bakar, mengapa terlalu mengecilkan suaranya, Abu Bakar menjawab: “Aku berbicara dengan Tuhanku (dan) aku merasa tidak perlu mengeraskan suara karena Dia telah mengetahui kebutuhanku.”
Sementara Umar yang ditanya soal kerasnya suaranya menjawab: “Aku menghardik setan, dan membangunkan yang sedang sangat mengantuk atau tertidur.”