UM Surabaya

Namun, Imam Abu Hanifah memiliki keraguan. Pendapat Imam Abu Hanifah juga banyak disepakati oleh sementara ulama hari ini.

Yang tidak sepakat melihat baik makmum apalagi Imam seharusnya tdk perlu melihat mushaf ketika salat, apalagi memegang ponsel.

Orang Minang menyebut kelihatan amat cayah. Al-Qur’an sendiri menyatakan “Faqra`uu maa tayassara minal qur`aan” (Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an–QS Al-Muzzammil: 20).

Artinya yang disuruh ialah membaca yang termudah, bukan mengejar pajangnya ayat untuk dibaca meskipun tidak hapal benar.

Ini menunjukkan betapa beragamnya perspektif dalam tradisi kita, dan kita sejatinya tidak perlu berdebat tentang masalah ini.

Mereka yang memilih memegang mushaf di belakang Imam harus benar-benar memperhatikan untuk tidak mengganggu orang lain selama salat, terutama Imam dengan ikut membaca bersamanya.

Kita diingatkan untuk diam selama momen ini, untuk menghormati ketenangan dan kesucian ibadah jamaah kita.

Di dunia dawai dan perangkat saat ini, perangkat tersebut bisa dengan mudah melayani tujuan yang sama seperti anak muda di belakang Anas, tetapi perangkat tersebut memiliki gangguannya sendiri.

Jadi, jika kita akan menggunakannya, kita perlu ekstra hati-hati agar tidak mengganggu ketenangan orang yang salat di sebelah kita.

Pada akhirnya, seseorang harus mengikuti dengan diam, dengan fokus yang ke dalam dan hati yang selaras dengan Sang Pencipta. Mari kita jaga salat kita sebagai momen koneksi yang tenang, tanpa bisikan sekalipun. (*)

*) Artikel ini tayang di suaramuhammadiyah.id

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini