UM Surabaya

Oleh karena itu, urgensinya untuk menjelaskan masalah ini menjadi semakin nyata, mengingat seringkali hal ini menjadi sorotan terutama bagi kalangan yang masih memegang teguh rukyat lokal dan mengutamakan ketampakan fisik hilal.

Menurut Arwin, secara singkat, argumen tentang hilal di bawah ufuk dapat diuraikan melalui tiga poin berikut. Pertama, fase-fase bulan, termasuk fase hilal atau bulan sabit, sebenarnya merupakan fenomena global, sementara ketampakan hilal merupakan fenomena lokal. Kedua, konjungsi bulan, yang merupakan titik awal dalam perhitungan kalender, menandai saat di mana hilal telah ada secara esensi meskipun belum terlihat secara jelas di langit.

Ketiga, perubahan fase bulan berkaitan erat dengan perubahan elongasi (jarak sudut bulan-matahari), yang menjelaskan bahwa posisi bulan di bawah ufuk sebenarnya tidak mengurangi keberadaannya sebagai hilal definitif.

Firman Allah dalam QS. Yasin (36) ayat 39 menggambarkan bahwa bulan mencapai fase terakhirnya saat konjungsi, yang menegaskan bahwa hilal telah ada bahkan jika belum terlihat. QS. Yasin (36) ayat 40 juga menjelaskan bahwa matahari tidak dapat mengejar bulan, yang menggarisbawahi perbedaan kecepatan sudut antara keduanya.

Dalam prakteknya, posisi hilal secara fisik selalu lebih tinggi di kawasan barat dibandingkan timur karena rotasi bumi dan perubahan elongasi. Hal ini telah diakui oleh para fukaha, yang menyatakan bahwa jika hilal terlihat di satu tempat, maka hal tersebut berlaku bagi seluruh umat Islam.

Penjelasan ini menawarkan pandangan baru tentang definisi hilal yang mendasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan syariat. Penolakan atau permasalahan terhadap penafsiran seperti ini dapat menghambat kemajuan menuju sistem penjadwalan waktu dunia Islam yang lebih unifikatif dan kredibel.

Oleh karena itu, penerimaan terhadap penafsiran baru ini menjadi kunci terwujudnya sistem kalender Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini