***
Dua ulama yang saya sebut diatas bukanlah dari kalangan para sahabat, tabiin atau para salaf yang muktabar. Keduanya hanya ulama biasa yang hidup beberapa tahun lebih dulu dari kita.
Orang biasa dengan pikiran biasa dan status sosial biasa bukan pula keturunan Sayid, Syarif apalagi Habib.
Bersyukur saya diberi sempat untuk ‘ngawula’ pada Pak AR meski hanya sekadar mengambilkan unjukan teh tubruk kesukaan, mengantar istirahat ke Jalan Silikat dan menjemputnya esok paginya.
Bersyukur pula musala depan rumah, rintisan kakek saya beberapa kali di singgahi Kyai Bedjo Dermoleksono mengaji kitab Bulughul Maram dan Nailul Author meski hanya beberapa kali pertemuan.
Sungguh, kenangan manis tak terperi bersama para ulama kesayangan. Orang-orang alim, zuhud dan wara.
Malu kiranya mengenang kesahajaan beliau saat ini. Ketika melihat lifestyle para ulama jaman sekarang, tarif mahal, jemputan mobil mewah dan hotel berbintang untuk istirahat.
***
Jika ulama sekelas Pak AR dan Kyai Bedjo Dermoleksono berpikir seribu kali hanya untuk memakai kemeja baru di depan santrinya, maka ulama sekarang tak malu menunjukkan berapa deret isteri yang dinikahi.
Atau koleksi kuda tunggangan atau kebun luas yang dimiliki atau jumlah tabungan di rekening hasil honorarium ceramahnya.
Memang, tak ada keharusan ulama harus hidup zuhud dan wara, berpakaian kumal, makan seadanya atau jalan kaki ke mana pun pergi.
Tapi juga tak elok menunjukkan kekayaan, melahap makanan mahal dan baju mewah di depan publik di kala umat lagi berkekurangan.
Pada akhirnya semua terpulang kepada masing-masing. Dan hidup memang pilihan. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News