*) Oleh: Abd Kadir,
Kepala SMP Muhammadiyah 1 Situbondo tahun 1996-2000
Jarum jam menunjukkan 01.00 WIB. Saya bergegas berangkat ke masjid. Berjalan kaki. Lokasinya tak jauh dari rumah. Sekitar 100 meter.
Saya memang ingin menunaikan niat untuk i’tikaf. Tepat di malam Jumat, tanggal 23 Ramadan 1444 H.
Tak butuh waktu lama untuk tiba di masjid. Saya berwudu, sebelum melaksanakan salat tahiyyatul masjid. Salat sunah yang selalu saya laksanakan ketika memasuki masjid.
Sebagai tanda penghormatan, memuliakan, serta kesadaran saya akan kehadiran Allah sebelum melakukan aktivitas lain di dalamnya.
Setelah diam untuk beberapa saat, saya lantas melanjutkan dengan salat sunah mutlak. Entah mengapa, ada perasaan berbeda yang menyergap. Hati saya menggigil. Sekujur tubuh saya gemetar.
Saya berupaya menguatkan diri dengan melanjutkan dengan membaca, shollu kama roaitumuni usholli’. Bismillahirrahmanirrahim, lalu takbiratul ihram hingga salam.
Saya duduk seperti posisi tahiyat akhir atau (duduk tasyahud, duduk dengan memajukan telapak kaki kirinya di bawah kaki kanan dan duduk di tempat duduknya.
Saya menunduk. Menggerakkan jari-jemari. Membaca istighfar. Berkali-kali. Saya sadarkan diri, betapa banyak dosa dan kesalahan saya perbuat. Betapa banyak kealpaan terjadi.
Oh, seolah saya tak kuasa berucap dan tiba-tiba merasakan pipi yang basah. Air mataku meleleh, jatuh menyentuh baju yang kukenakan.
Aku merasa sangat emosional untuk mengungkapkan penyesalan dan permohonan maaf kepada Allah SWT.
Saya lantas membaca selawat sampai merasa yakin jika telah tersampaikan kepada Nabi Muhammad oleh para malaikat.
Berikutnya kalimat thoyyibah yang mengandung nilai-nilai positif seperti rasa syukur, kerendahan hati, dan doa untuk kebaikan orang lain.
Saya mengucapkan kalimat-kalimat thoyyibah karena yakin bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Melihat apa yang kulakukan.
Saya kemudian berdoa. Memohon kebaikan, keberkahan, keselamatan di dunia dan akhirat. Saya panjatkan dengan penuh harap. Lagi-lagi, saya tak kuasa menahan air mata.