Di antara syarah atau penjelasan masing-masing syarat tersebut, saya tertarik untuk menengahkan penjelasan kontemporer yang disampaikan oleh Amin Abdullah, saat beliau memberikan prolog dalam buku biografi intelektual Ahmad Syafii Maarif.
Pertama, kecerdasan (dzaka’un). Bagi Amin Abdullah, dalam upaya belajar apa pun, terlebih dalam mempelajari agama, perlu kecerdasan. “Tingkat intelektualitas yang medioker bukan syarat yang baik untuk belajar agama”.
Kedua, memiliki minat yang kuat (hirsun). Untuk mendapat ilmu, terlebih ilmu agama, harus ada panggilan dari dalam dan suatu keinginan yang kuat. “Mentalitas keilmuan yang prima ada di sini”.
Ketiga, biaya (dirhamun). Menariknya, Amin Abdullah menjelaskan syarat ini tidak sempit kepada material, namun juga sebagai jaminan standar mutu ilmu. Sebab kesediaan biaya akan mengantarkan kepada literatur standar serta guru atau dosen yang ahli.
Jika demikian maka dalam mempelajari ilmu akan mendapatkan metodologi dan pendekatan yang tepat.
Keempat, sungguh-sungguh (ijtihadun). Amin Abdullah memahami syarat ini sebagai perlunya kebebasan/independensi dalam berpendapat (ijtihadun).
Beliau juga memahami syarat ini sebagai semangat kritis dalam mencari ilmu. Tidak dibayang-bayangi rasa takut kepada senior (dosen, guru, kyai, ustaz).
Adapun kelima, dekat dengan guru (suhbatu ustazin). Syarat ini dapat berarti berteman dan berguru dengan guru, dosen atau kyai, ustaz yang ahli dalam bidangnya dan luas pandangan hidupnya.
Keenam, waktu yang panjang (thulu zaman). Untuk mendapat ilmu, tidak bisa dilakukan dengan cara instan, melainkan diraih dengan kesabaran dan waktu yang lama.
“Baca literatur yang banyak; tidak dilakukan secara instan, apalagi selektif, tidak tergesa-gesa, tergopoh-gopoh lewat program atau kursus kilat seperti yang biasa dilakukan pada era sekarang lewat training-training kilat”.