Bangsa kita gencar mengklaim sebagai bangsa Pancasilais dan bangsa toleran. Sebuah bangsa yang mengusung budaya saling hormat dan menghargai di tengah perbedaan , suku, agam, ras dan antargolongan (SARA).
Tetapi fakta dan praktik di lapangan, ternyata budaya toleransi bangsa kita masih rapuh dan sering dirusak oleh orang-orang yang memiliki pemikiran kerdil dan sempit.
Fakta rapuhnya budaya toleransi di tengah kemajemukan bangsa Indonesia tersebut terpotret dari dua kejadian yang membuat gaduh masyarakat muslim Indonesia yang sedang menikmati Hari Raya Idul Fitri 2023 M.
Pertama, sebagian kepala daerah (bupati Pekalongan dan wali kota Sukabumi) menolak permohonan izin warga Muhammadiyah mengadakan Salat Idul Fitri di Lapangan.
Hal itu disebabkan Salat Idul Fitri Muhammadiyah tidak sama dengan Pemerintah. Padahal, lapangan itu milik bersama bukan milik satu golongan dan dibiayai hasil pajak semua masyarakat tanpa memandang perbedaan SARA.
Kedua, ancaman pembunuhan kepada semua warga Muhammadiyah oleh peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Andi P Hasanuddin, dikarenakan Muhammadiyah dianggap pembuat onar, pembangkang, karena tidak patuh dan berbeda dengan keputusan Pemerintah terkait penetapan 1 Syawal, Muhammadiyah 21/4/2023 Pemerintah 22/4/2023.
Dua kejadian ini pada dasarnya dilatari oleh kesamaan pemikiran yang homogen, sebuah pemikiran yang berpikir serba satu, serba sama, serba tunggal, dan dikatakan benar dan baik itu adalah yang sama dan yang satu.
Serta sikap yang belum bisa menerima perbedaan yang terjadi di tengah masyarakat kita yang majemuk. Mereka beranggapan berbeda itu jelek, bukan saudara bahkan dianggap musuh yang boleh dibenci, di-bully bahkan dibunuh.
Dua kejadian tersebut menunjukkan aksi intoleransi masih marak di tengah-tengah kita. Aksi intoleransi tersebut, patut disayangkan dan lebih parah dilakukan oleh para pejabat/pemimpin bangsa (bupati Pekalongan/wali kota Sukabumi).
Para pemimpin tersebut seharusnya menjadi garda terdepan memberikan contoh (uswah) sikap toleransi bukan malah sering mempertontonkan sikap mencederai toleransi, sebuah ironi kebangsaan!.
Kita ternyata masih belum bisa legowo menerima perbedaan. Kita masih berpikir jumud, cara berfikir kita masih homogen (serba sama/satu).
Artinya, kita harus sama. Sama adalah kawan saudara yang harus dibela mati-matian. Sementara yang berbeda dengan kita adalah musuh yang patut dibenci layak di-bully dan dilarang-larang hak kebangsaannya. Bangsa kita ternyata belum terbiasa berpikir heterogen (serba berbeda).
Dari kejadian tersebut, dapat kita pahami bahwa problem terbesar bangsa ini ternyata masih berkutat pada problem paradigmatik-filosofis. Yang terkait pemahaman toleransi yang masih dipahami secara kerdil dan sempit, sehingga berdampak pada praksis prilaku intoleran.
Sehingga yang dibutuhkan mendesak bangsa ini adalah segera dilakukan revolusi filosofi terkait ideologi toleran/moderasi yang benar kepada semua elemen masyarakat. Terutama para pemimpin dan pejabat kita yang masih sering mencederai ideologi toleransi. (*)