UM Surabaya

Namun, kini situasinya tampak berbeda. Kehidupan manusia tampaknya tidak merasa secara utuh berada dalam dunia interaksi nyata sebagaimana dapat diterawang dan sentuhan langsung.

Aktivitas manusia baik secara individu atau komunal mendapat tempatnya di jagat maya atau media sosial.

Pada bulan Ramadan kini, ragam aktivitas dan program komunitas hingga masjid-masjid dipromosikan tidak hanya melalui papan pengumuman atau Pak Takmir yang memberitahukan para jamaah. Melainkan melalui flyer yang dibuat seindah dan semenarik mungkin di media sosial.

Dari info sajian takjil, ‘bintang tamu’ yang menjadi penceramah tarawih, tabligh akbar, hingga di antaranya program iktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadan.

Khusus yang terakhir ini, iktikaf sebagai sebentuk ibadah yang akrab dalam horizon pengalaman saya pribadi, berlangsung dalam suasana tenang dan sunyi, kini beberapa di antaranya menjadi gegap gempita, seperti ajang kontestasi hingga komodifikasi.

Memang saya menemukan pemahaman dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam as-Syafi’i yang menjelaskan mengenai sunah saat melaksanakan i’tikaf di antaranya menyibukkan diri dengan melaksanakan ketaatan pada Allah, seperti berzikir, membaca Al-Qur’an dan diskusi keilmuan.

Namun kini tidak hanya kepada keilmuan agama, melainkan pelatihan softskill dalam tajuk sharing is caring.

Iktikaf kini sebagiannya menjadi program berbayar dengan ragam ‘benefit’ yang akan didapatkan. Seperti tempat tidur, coffee break, snack, dan makan sahur. Makan sahur dalam beberapa masjid disediakan dalam bentuk kupon.

Bahkan dalam jagat medsos saya menemukan program sebuah masjid yang mengadakan program iktikaf.

Setelah mendaftar, peserta i’tikaf mendapatkan beberapa benefit seperti: bagwash, buku zikir pagi-petang, tasbih digital, bahkan beauty water untuk wajah.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini