Selain itu disediakan pula kopi radix dan pop mie. Benefit-benefit tersebut saya kutip melalui flyer yang tersebar.
Uniknya, ada pula yang memasukkan perlombaan di dalamnya. Di antaranya ada lomba untuk menjadi peserta terbaik iktikaf.
Terdapat pula beberapa lomba seperti hafalan zikir pagi dan petang, hafalan asmaul husna, hafalan ayat populer seperti QS. Al-Kahfi ayat 1-10 dan ayat 1-110.
Lagi, hingga di penghujung acara penutupan semua peserta i’tikaf mendapatkan ‘benefit’ berupa beras, gula pasir, dan kurma cokelat.
Seiring berkembangnya teknologi dan media sosial, i’tikaf tidak lagi menjadi ibadah yang rahasia nan pribadi.
Kini ter-capture melalui status-status WhatsApp dan Instagram dengan nuansa narsistik. Beberapa pula ada yang dijumpai asyik memainkan gawainya dan streaming sepakbola.
Keadaan yang cukup kontras antara keadaan dulu dan kini perlu dikhawatirkan i’tikaf menjadi kehilangan substansinya dan menjadi sebatas seremonial-euforia semata.
Saya jadi teringat dengan tulisan-tulisan Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun dalam bukunya Tuhan pun “Berpuasa”.
I’tikaf sebagaimana dalam pemahaman Cak Nun, merupakan ruang kontemplasi untuk memikirkan kepentingan kita, apakah bersifat pribadi kultural yang dikonstruk oleh masyarakat dan capaian-capaian diri, kuantitas pahala atau ketauhidan yang berdampak dalam memeriksa secara reflektif terhadap kesehari-harian kita.
Dalam bahasa Cak Nun, “Cobalah engkau ber-i’tikaf malam-malam. Engkau hitung hubungan-hubungan global maupun parsial, kaitan-kaitan makro maupun mikro, sentuhan-sentuhan permanen maupun temporer, antara kegiatan puasa dan riuh rendah kepentingan pribadi atau golongan yang bersemayam di dalam hati dan otak kepalamu.”