Seperti biasa, Cak Nun seakan tak pernah terlewat melontarkan kritik sosial dalam cara berpolitik secara ideal melalui ajuan pertanyaan reflektif, “Apakah sesudah memasuki hakikat Ramadan, engkau yang terlibat di dalamnya mampu menghikmahkan puasa padanya?
Mampukah seorang pemimpin dan “Bapak” memerdekakan diri dari rantai kepentingan kekuasaan yang notabene bersifat golongan?
Mampukah tokoh yang semestinya bersifat mengatasi kepentingan-kepentingan subjektif diri dan golongannya sendiri serta kepentingan subjektif diri dan golongannya demi kepentingan yang lebih tinggi?
Yakni, kepentingan kolektif, kepentingan bangsa, kepentingan kemanusiaan…” Memang seperti biasa, bahasa-bahasa Cak Nun tidak cukup habis dibaca satu kali.
Sikap-sikap kontemplatif ini yang nampak pudar dalam ‘seremonial’ iktikaf kini. Sebab sikap-sikap kontemplatif ini yang menentukan perubahan sikap fundamental dalam sehari-hari manusia.
Juga menunjukkan hasil bulan pendidikan dalam puasa Ramadan agar kian progresif menjadi pribadi yang takwa, termasuk di dalamnya saleh secara sosial.
Kaitannya dengan iktikaf, sikap kontemplatif ini menjadi penting agar tidak hanyut dalam euforia dan konstruk sosial, serta kontestasi-kontestasi di dalamnya.
Bahkan Cak Nun, meluaskan pengertian i’tikaf tidaklah harus dalam keadaan bersila atau bersujud di atas tikar atau karpet masjid.
Ber-i’tikaf dapat dilakukan sewaktu-waku. Tak dibatasi oleh tempat atau aktivitas yang dikerjakan.
Dalam semua keadaan itu batin beriktikaf, yakni jiwa merenung, pikiran yang terkonsentrasi kedalamannya kepada Allah. Wallahu A’lam Bishawab. (*)
*) Artikel ini tayang di suaramuhammadiyah.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News