Menjadi Manusia Paling Kaya
foto: getty images
UM Surabaya

“Ridalah dengan apa yang dibagikan Allah SWT untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.” (HR Turmudzi).

Penggalan hadis Rasulullah SAW di atas adalah potongan dari hadis lengkap yang disampaikan Abu Hurairah, ihwal 5 perkara yang diwasiatkan Baginda Rasul kepada sahabat kesayangannya itu.

Hadis ini merupakan bentuk nyata betapa susahnya menumbuhkan rasa qanaah atau merasa cukup.

Hadis itu mengandung maksud orang paling kaya adalah mereka yang qanaah atas apa pun pemberian Allah SWT.

Betapa positif dan bermartabatnya hidup ini bila seseorang selalu merasa rida dan cukup dengan segala kondisinya.

Dengan qanaah, yang sedikit akan menjadi banyak dan yang banyak akan menjadi berkah.

Kesenangan tidak akan sempurna dan nikmat tidak akan menjadi besar kecuali dengan memutuskan angan-angan memiliki seperti yang dimiliki orang lain.

وازهَدْ فيما في أيدي النَّاسِ يُحبَّك النَّاسُ

“Himpunlah rasa putus asa terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia, maka mereka akan mencintaimu.” (HR Ibnu Majah).

Sikap tidak menerima atas apa yang telah dimiliki, hanya akan menguras keterkaitan hati dengan Allah SWT.

Akibatnya, kehidupan yang sebenarnya tidak akan bisa dirasakan. Sementara kehidupannya menjadi tidak tertata.

Rida dengan pemberian, mensyukuri pemberian Allah SWT, dan menginvestasikannya untuk hal yang bermanfaat, maka inilah sebenarnya yang disebut kaya nan mulia.

Allah SWT berjanji kepada orang yang hatinya dipenuhi keridaan akan memenuhi hatinya dengan kekayaan, rasa aman, penuh dengan cinta, dan tawakkal kepada-Nya.

Sebaliknya, bagi yang tidak rida, hatinya akan dipenuhi dengan kebencian, kemungkaran, dan durhaka.

Pantaskah sebagai seorang hamba mengaku kekurangan, sementara pada waktu yang sama, kita masih memiliki akal.

Andai kata akal itu dibeli orang atau menukarnya dengan emas dan perak sebesar gunung, kita pasti enggan menerimanya.

Kita memiliki dua mata yang sekiranya dibayar dengan permata sebesar Gunung Uhud, pasti tidak rela.

Saat ini, banyak orang enggan mengakui dan menyebut dirinya orang paling kaya. Kekayaan hanya mereka ukur dengan materi, banyaknya harta, dan pangkat yang tinggi.

Bersyukurlah atas nikmat agama, akal, kesehatan, pendengaran, penglihatan, rezeki, keluarga, penutup (aib), dan nikmat lain yang tak terhitung.

Sebab, di antara manusia itu ada yang hilang akalnya, terampas kesehatannya, dipenjara, dilumpuhkan, atau ditimpakan bencana.

Kini saatnya untuk menyadari bahwa kita sebenarnya adalah orang yang paling kaya. Caranya dengan selalu qanaah dan merasa rida.

Bersyukur dengan apa yang kita miliki, sehingga hidup lebih bermakna, berkah, serta lebih berarti.

Jadikanlah keridaan itu dengan mengosongkan hati dari berbagai sangkaan dan membiarkannya hanya untuk Allah SWT.

Sikap rela hati dengan setiap pemberian Allah, baik itu yang berupa raga, harta, anak, tempat tinggal ataupun bakat kemampuan.

Quran Surat Al-A’raf Ayat 144:

قَالَ يَٰمُوسَىٰٓ إِنِّى ٱصْطَفَيْتُكَ عَلَى ٱلنَّاسِ بِرِسَٰلَٰتِى وَبِكَلَٰمِى فَخُذْ مَآ ءَاتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ ٱلشَّٰكِرِينَ

Artinya: Allah berfirman: “Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.

Sebagian besar generasi awal umat ini adalah orang-orang yang secara materi termasuk fakir miskin.

Mereka tidak memiliki harta yang berlimpah, rumah yang megah, kendaraan yang bagus, dan juga pengawal pribadi.

Meski demikian, mereka ternyata mampu membuat kehidupan ini justru lebih bermakna serta membuat diri mereka dan masyarakatnya lebih bahagia.

Yang demikian itu, adalah karena mereka senantiasa memanfaatkan setiap pemberian Allah di jalan yang benar.

Dan karena itu pula, umur, waktu, dan kemampuan atau ketrampilan mereka menjadi penuh berkah.

Kebalikan dari kelompok manusia yang diberkahi ini adalah mereka yang dikarunia Allah dengan kekayaan yang meruah, anak yang banyak, dan nikmat yang berlimpah.

Tetapi semua itu justru menyebabkan diri mereka senantiasa merasa penuh penderitaan, kecemasan dan kegelisahan. Ada pun penyebabnya, tak lain adalah karena mereka telah menyimpang dari fitrah dan tuntunan hidup yang benar.

Ini menjadi bukti nyata bahwa segala sesuatu (kekayaan, anak, pangkat, jabatan, kehormatan dan lain sebagainya) adalah bukan segala-galanya.

Lihatlah, betapa banyak sarjana atau doktor yang tidak dapat memberi kontribusi, pemikiran dan pengaruh yang cukup bagi masyarakatnya.

Namun sebaliknya, tak sedikit manusia yang dengan ilmu dan kemampuannya yang sangat terbatas justru mampu membangun sungai yang senantiasa mengalirkan manfaat, kebaikan, dan kemakmuran bagi sesama manusia.

Jika Anda ingin bahagia, maka terimalah dengan rela hati bentuk perawakan tubuh yang diciptakan Allah untuk Anda, apa pun kondisi keluarga Anda, bagaimanapun suara Anda, seperti apa pun kemampuan daya tangkap dan pemahaman Anda, serta seberapa pun penghasilan Anda.

Bahkan, kalau ingin meneladani para guru sufi yang zuhud, maka sesungguhnya mereka telah melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar apa yang disebutkan itu.

Mereka selalu berkata, “Seyogyanya Anda senantiasa tetap senang hati menerima sesedikit apa pun yang Anda miliki dan rela dengan segala sesuatu yang tidak Anda miliki.”

Berikut ini adalah beberapa tokoh terkenal yang kehidupan duniawi mereka kurang beruntung.

1. Atha’ ibn Rabah, orang yang paling alim pada zamannya adalah seorang mantan budak berkulit hitam, berhidung pesek, lumpuh tangannya, dan berambut keriting.

2. Ahnaf ibn Qais, orang Arab yang dikenal paling sabar dan penyantun ini sangat kurus tubuhnya, bongkok punggungnya, melengkung betisnya dan lemah postur tubuhnya.

3. al-A’masy, ahli hadis kenamaan di dunia ini adalah sosok manusia yang sayu sorot matanya dan seorang mantan budak yang fakir, compang-camping baju yang dikenakannya, dan tidak menarik penampilan diri dan rumahnya.

Bahkan, semua nabi dan rasul Allah adalah pernah menjadi penggembala kambing.

Dan, meskipun mereka termasuk manusia-manusia pilihan Allah dan sebaik-baik manusia, pekerjaan mereka pun tak jauh beda dengan manusia pada umumnya.

Nabi Daud adalah seorang tukang besi, Nabi Zakaria seorang tukang kayu, dan Nabi Idris seorang tukang jahit. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang pilihan.

Ini mengisyaratkan bahwa harga diri Anda ditentukan oleh kemampuan, amal salih, kemanfaatan, dan akhlak Anda.

Karena itu, janganlah Anda bersedih dengan wajah yang kurang cantik, harta yang tak banyak, anak yang sedikit, dan rumah yang tak megah! Singkatnya, terimalah setiap pembagian Allah dengan penuh kerelaan hati.

Surat Az-Zukhruf Ayat 32:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (*/tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini