Pertama, kesadaran bahwa Allah selalu bersama kita. Ramadan telah melatih kaum muslimin untuk merasa selalu diawasi oleh Allah.
Di siang bulan Ramadan, meskipun sendirian, ternyata orang yang beriman tidak mau memanfaatkan situasi itu untuk makan atau minum, karena dia sadar sedang dipantau oleh Allah.
Menjelang magrib, meskipun kurang satu menit sekalipun, dia tidak mungkin mendahului berbuka sebelum saat magrib benar-benar tiba, karena dia sadar bahwa Allah selalu mengawasinya.
Yang demikian itu adalah merupakan bukti keimanan seorang muslim yang telah sampai pada hakikatnya yang paling tinggi yaitu sampai pada derajat ihsan.
Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang ihsan, beliau menjawab:
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه البخاري)
“Engkau beribadah kepada Allah seaakan-akan Engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu”. (HR Bukhari).
Ma’asyiral Muslimin, jamaah salat Idulfitri rahimakumullah.
Kesadaran seperti ini, seharusnya tidak hanya terjadi di bulan Ramadan saja. Bulan Ramadan memang sarana terbaik untuk menumbuhkan sikap dan kesadaran tersebut, namun implementasinya dapat dilanjutkan hingga di luar bulan Ramadan sekalipun.
Di mana pun seorang muslim berada, saat di rumah, saat bekerja di kantor, di pasar, di ladang dan lain sebagainya seharusnya selalu merasakan kebersamaannya dengan Allah sehingga tidak ada aktivitas yang dilakukan kecuali memberi manfaat buat orang lain.
Betapa indahnya kehidupan ini jika semua pejabat, pegawai, guru, pedagang, dan lain-lain tidak ada yang korupsi, tidak ada yang curang, karena mereka semua merasa diawasi oleh Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
وَأَسِرُّوا۟ قَوْلَكُمْ أَوِ ٱجْهَرُوا۟ بِهِۦٓ ۖ إِنَّهُۥ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ (الملك:13)
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati”. (QS. Al-Mulk: 13)