Dengan kata lain, manusia memiliki pertimbangan sendiri sehingga tidak lagi membutuhkan pertimbangan ilahiyah.
Di sinilah pembangkangan bermula, di mana ketika datang nabi dan rasul untuk tunduk dan taat aturan Allah, justru menentang. Hal ini dipaparkan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :
فَلَمَّا جَآءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِا لْبَيِّنٰتِ فَرِحُوْا بِمَا عِنْدَهُمْ مِّنَ الْعِلْمِ وَحَا قَ بِهِمْ مَّا كَا نُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ
“Maka ketika para rasul datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka merasa senang dengan ilmu yang ada pada mereka dan mereka dikepung oleh (azab) yang dahulu mereka memperolok-olokkannya.” (QS. Ghafir : 83)
Manusia merasa cukup dengan pengetahuannya, sehingga informasi ilahiyah tidak dibutuhkannya lagi.
Bahkan tidak jarang, mereka justru mengolok-olok dan melecehkan ajakan nabi dan rasul. Akal dan pikirannya dipandang cukup untuk mengatur bumi dan mengelolanya. Pikiran seperti inilah yang mendasari perlawanan mereka terhadap nabi dan rasul.
Bahkan mereka merasa tidak perlu dibimbing. Keangkuhan inilah yang membuat Allah membiarkan manusia hidup tanpa aturan.
Dengan demikian, manusia hidup tersesat tanpa terasa. Mereka hidup terombang ambing tanpa aturan Allah.
Mereka berkreasi sendiri dalam memecahkan problem hidup, tanpa melibatkan nilai-nilai di luar dirinya. Hal ini digambarkan dengan baik sebagaimana firman-Nya :
وَلَقَدْ جَآءَكُمْ يُوْسُفُ مِنْ قَبْلُ بِا لْبَيِّنٰتِ فَمَا زِلْـتُمْ فِيْ شَكٍّ مِّمَّا جَآءَكُمْ بِهٖ ۗ حَتّٰۤى اِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَّبْعَثَ اللّٰهُ مِنْۢ بَعْدِهٖ رَسُوْلًا ۗ كَذٰلِكَ يُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُّرْتَا بٌ
“Dan sungguh, sebelum itu Yusuf telah datang kepadamu dengan membawa bukti-bukti yang nyata, tetapi kamu senantiasa meragukan apa yang dibawanya, bahkan ketika dia wafat, kamu berkata, “Allah tidak akan mengirim seorang rasul pun setelahnya.” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang yang melampaui batas dan ragu-ragu,” (QS. Ghafir: 34)