Kepasrahan Total
Menegakkan keadilan merupakan misi besar diutusnya para nabi dan rasul di muka bumi ini. Para khalifah (penguasa) menjadi sasaran utama tegaknya keadilan ini. Mereka memerintah dengan memutuskan perkara pelik yang dihadapi rakyatnya.
Oleh karenanya, Allah memerintahkan kepada rasulnya untuk menegakkan keadilan dengan menyingkirkan keinginan-keinginan jahat yang akan merusak tatanan masyarakat. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَ رْضِ فَا حْكُمْ بَيْنَ النَّا سِ بِا لْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَا بٌ شَدِيْدٌ بِۢمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَا بِ
“(Allah berfirman), “Wahai Daud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” (QS. Sad : 26)
Sebagai pemimpin memiliki kewajiban moral untuk memerintahkan rakyatnya untuk mematuhi aturan Allah. Hal ini disebabkan Allah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta ini, dan kepada-Nyalah seluruh pertanggungjawaban akan diserahkan. Hari perhitungan merupakan hari pertanggungjawaban atas berbagai tindakan dan perilaku di dunia.
Sebagai pemimpin negara, bertanggung jawab terhadap hitam putihnya masyarakat. Pemimpin yang mengikuti aturan Allah dan hendak menerapkannya, berarti menjadikan masyarakatnya seperti yang diinginkan Allah.
Tegaknya keadilan di tengah masyarakat dengan hukum-hukum yang telah disiapkan, merapakan cara Allah untuk membuat model masyarakat yang ideal. Itulah yang disebut Al-Qur’an sebagai celupan (shibgah) sebagaimana firman-Nya :
صِبْغَةَ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ صِبْغَةً ۖ وَّنَحْنُ لَهٗ عٰبِدُوْنَ
“Sibgah Allah”. Siapa yang lebih baik Sibgahnya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 138)
Ketika Allah menginginkan terwujudnya masyarakat yang adil, dengan tegaknya aturan-aturan Allah, tidak mudah dan senantiasa mengalami kendala. Kendala utama adalah banyaknya pemuka atau tokoh masyarakat yang menolak dan ingin mempertahankan cara beragama yang telah mereka jalani selama ini.
Ketika Al-Qur’an memerintahakan untuk mentauhidkan Allah dan meninggalkan berhala, maka pemimpin-pemimpin lokal memerintahkan untuk mempertahankan dan melestarikan tradisi itu. Hal ini sebagaimana firman-Nya :
وَا نْطَلَقَ الْمَلَاُ مِنْهُمْ اَنِ امْشُوْا وَا صْبِرُوْا عَلٰۤى اٰلِهَتِكُمْ ۖ اِنَّ هٰذَا لَشَيْءٌ يُّرَا دُ
“Lalu pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki.” (QS. Sad 38: 6)
Apa yang dilakukan oleh para pemuka masyarakat berdasarkan kepentingan-kepentingan sesaat. Mereka mempertahankan tradisi dengan menolak mentauhidkan Allah, telah menguntungkan hidup mereka selama ini.
Selama ini hidup dengan meminta kepada berhala dipandang menguntungkan secara ekonomi. Dengan membiarkan masyarakat menyembah berhala, para pemuka masyarakat banyak mendapatkan keuntungan, termasuk keberuntungan finansial.
Ketika pola pemberhalaan ini berlangsung lama, datang seorang utusan Allah untuk membongkar dan membuang tradisi ini. dengan serta merta pihak-pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan melakukan perlawanan.