Perlawanan Kolektif

Perlawanan itu tidak lain sebagai upaya mempertahankan supremasi hukum yang selama ini menguntungkan para pemuka masyarakat. Petunjuk yang datang ini dianggap sebagai ancaman atas cara hidup yang telah menguntungkan hidup para pemuka masyarakat.

Mereka menolak petunjuk dan mengedepankan hawa nafsu untuk berkuasa terhadap masyarakatnya. Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰٮهُ وَاَ ضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً ۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. Al-Jasiyah : 23)

Allah menunjukkan bahwa petunjuk yang telah datang bukan membuat mereka tersadar, tetapi justru memompa perlawanan untuk menolak petunjuk.

Atas penolakan dan perlawanan terhadap ajaran itu, maka Allah pun mengancam mereka untuk menghentikan petunjuk dan membiarkan mereka hidup sesuai dengan hawa nafsunya. Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

قُلْ لَّوْ شَآءَ اللّٰهُ مَا تَلَوْتُهٗ عَلَيْكُمْ وَلَاۤ اَدْرٰٮكُمْ بِهٖ ۖ فَقَدْ لَبِثْتُ فِيْكُمْ عُمُرًا مِّنْ قَبْلِهٖ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

“Katakanlah (Muhammad), “Jika Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.” Aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum turun Al-Qur’an). Apakah kamu tidak mengerti?” (QS. Yunus : 16)

Hidup tanpa aturan yang berkeadilan hanya akan menimbulkan ketidakpastian dan kekisruhan berkepanjangan. Negara ini telah mengalami getirnya kehidupan tanpa kepastian hukum.

Mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan menentukan arah bangsa ini dengan membuat norma baru yang berbeda dengan norma yang telah disepakati.

Contohnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang selama ini dipandang sebagai pengambil keputusan yang berwibawa dan dianggap simbol keadilan telah berubah menjadi Mahkamah Keluarga.

MK dipandang berubah menjadi Mahkamah Keluarga setelah meloloskan salah seorang anak presiden menjadi calon wakil presiden (Cawapres) 2024. Padahal aturan tertulisnya bahwa seorang calon presiden/wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun. Sementara anak presiden itu baru berusia 36 tahun.

Akibat pelanggaran terhadap norma ini, maka energi masyarakat pun terkuras untuk memperdebatkan. Satu pihak menyalahkan dan mempersoalkan ke pengadilan. Namun pihak lain membenarkan dan membela habis-habisan.

Hal ini melahirkan konflik berkepanjangan hingga menghabiskan seluruh energi bangsa ini. Orang yang pintar dan cerdas dalam hitungan waktu menjadi bodoh dan culas membela norma baru yang mendukung kecurangan.

Hilangnya rasa keadilan sangat terasa dalam konteks ini. Masyarakat pun diliputi ketidakpastian terhadap lahirnya pemimpin.

Pemimpin yang dilahirkan atas praktik keculasan dan kecurangan akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang curang.

Situasi seperti inilah yang akan melahirkan kekacauan. Karena seluruh produk yang dihasilkan berdasarkan keuntungan untung rugi, bukan atas dasar rasa keadilan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini