Muhammadiyah Populerkan Sunnah Rasul Salat Id di Lapangan
UM Surabaya

Kepeloporan Muhammadiyah dalam penyelenggaraan Salat Id di tanah lapang atau lapangan, selain untuk mempopulerkan Sunnah Rasul, sekaligus juga praktik ibadah yang solutif terhadap masalah penambahan jumlah umat Islam.

Pemerhati Sejarah Muhammadiyah dan Dosen Vokasi UGM, Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi menjelaskan, kesadaran untuk mempopulerkan Sunnah Rasulullah Muhammad SAW telah ada sebelum Majelis Tarjih berdiri pada 1927.

“Salah satu yang dikenalkan oleh Muhammadiyah pada saat itu adalah menyelenggarakan Salat Id di tanah lapang,” ujarnya seperti dilansir muhammadiyah.or.id, Jumat (9/4/2024).

Dalam konteks Yogyakarta waktu itu, kata Penggerak Muhammadiyah Heritage Yogyakarta, umat Islam dalam pelaksanaan ibadah termasuk Salat Id diakomodir oleh Sultan di Masjid-masjid Kagungan Ndalem yang berjumlah 44 buah yang tersebar di berbagai titik, bahkan sampai ada yang di wilayah Magelang.

Akan tetapi lambat laun dengan bertambahnya jumlah umat Islam, dan warga Muhammadiyah pada khususnya, serta penggalian sumber teologis yang lebih kuat, Muhammadiyah mengenalkan Salat Id di tanah lapang dan menggunakan Lapangan ASRI sebagai lokasi awal untuk melaksanakan Salat Id itu.

Lapangan ASRI memiliki akronim dari bahasa jawa yaitu adeging shalat riyaya ing islam atau inilah tempat salat hari raya Islam. Prof. Munir Mulkhan di Suara Muhammadiyah mengungkapkan, karena tradisi Salat Id di lapangan belum dikenal oleh umat Islam di Indonesia, Muhammadiyah mendapat banyak cibiran.

Namun sekarang, pemopuleran sunnah yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini mendapat respon baik dari seluruh umat Islam ditambah lagi dengan jumlah umat yang terus bertambah. Misalnya sebelum Alun-alun Utara dipagar, jemaah Salat Id di sana meluber sampai mendekati Titik Nol KM Jogja.

Salat Id di Lapangan, Fase Baru Ideologisasi Muhammadiyah

Pengenalan sunnah yang sebelumnya tidak dipakai oleh Umat Islam di Indonesia, menjadi titik bagaimana Muhammadiyah melakukan ideologisasi. Lebih-lebih pada 1927 Muhammadiyah membentuk sebuah lembaga fatwa yang mentakhrij hadis dan persoalan-persoalan ubudiyah lainnya.

Ghifari menjelaskan, pada 1920-an menjadi babak baru dalam praktik beragamanya orang Muhammadiyah. Di mana sebelum tahun itu Muhammadiyah lebih banyak menyelenggarakan Amal Usaha (AUM) sebagai ekspresi beragama – yang seolah dianggap mengesampingkan urusan-urusan agama yang rigid.

Berdirinya AUM seperti sekolah, rumah sakit, panti sosial, dan rumah yatim menurut Ghifari merupakan esensi besar dari ajaran Islam, tetapi lahirnya pemikiran-pemikiran fikih melalui Majelis Tarjih juga menjadi bagian baru Muhammadiyah dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang lebih utuh.

Pelaksanaan Salat Id di tanah lapang yang dilakukan oleh Muhammadiyah selain untuk mempopulerkan Sunnah Rasul, juga bentuk ideologisasi Muhammadiyah, tanpa bermaksud menjadi beda dengan umat Islam yang lain. Sebab pada tahun 1920 an di Indonesia tumbuh subur berbagai ideologi, baik dari kalangan internal Islam maupun dari luar.

Berbagai arus ideologi masa itu mengalir begitu deras, ditunjukkan dengan pecahnya Sarekat Islam (SI) SI “Merah” dengan SI “Putih”, Missie dan Zending yang semakin masfi, hadirnya Ahmadiyah, serta gerakan ideologi lainnya. Tidak hanya itu, dipopulerkannya Salat Id di Lapangan juga sebagai penegasan diri Muhammadiyah sebagai organisasi pemurnian dan pembaharuan.

Di internal Muhammadiyah, pada Kongres ke-15 di Surabaya pada 1926 mulai masuk kalangan fuqaha atau ulama-ulama fikih yang membicarakan masalah-masalah peribadatan ke dalam jajaran pengurus Muhammadiyah salah satunya adalah KH Mas Mansur. Pada kepemimpinan Mas Mansur ini juga Majelis Tarjih mulai menunjukan eksistensinya. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini