Anak itu menjawab, “Semula aku lapar sekarang jadi kenyang, semula aku telanjang lalu aku diberi pakaian, semula aku tidak punya bapak, sekarang Rasulullah saw jadi bapakku, ‘Aisyah jadi ibuku, Fatimah jadi saudara perempuanku, Ali jadi pamanku, Hasan dan Husain jadi saudara laki-lakiku.”
Anak-anak yang lain lalu berkata, “Oh betapa senangnya seandainya bapak-bapak kami wafat dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah saw.”
Hadis tentang perjumpaan Rasulullah dengan seorang anak kecil saat Idulfitri di atas cukup memberikan sinyalemen betapa perfect-nya hamba yang dijadikan Allah Uswah dan sebagai penutup para Nabi dan Rasul-Nya itu, salam alaika Yaa Nabi..
Ketika Rasulullah dihadapkan pada sebuah pilihan dakwah, di antara segera meng-handle para pengikutnya yang telah dewasa untuk melaksanakan salat Idulfitri sedangkan beliau mendapati ada seorang anak yang akan menyandang identitas generasi penerus di hadapannya.
Ini merupakan pilihan yang sangat sulit bila memang harus dipikirkan secara serius dan penting dari keduanya.
Di satu pihak para sahabat telah menunggu beliau dalam sebuah acara yang sakral tahunan, yakni salat Id.
Di lain pihak ada makhluk Allah yang sangat butuh penanganan beliau dan membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan perlakuan yang tidak sederhana.
Membawanya pulang, memberinya makan, bahkan mencarikan pakaian baru untuk si anak kecil hingga benar benar merasakan diri sang anak mendapatkan perhatian psikologi yang sangat sesuai dengan keinginan si anak.
Yang luar biasa berikutnya adalah ternyata sang anak yang ditemukan Rasulullah itu sebelumnya tidaklah tahu kalau yang di hadapannya ternyata adalah Rasulullah.
Sedangkan anak itu begitu bahagianya setelah mendengar beberapa nama keluarga nabi disebutkan dan ia kenal.
Artinya, siapapun ketika disebutkan keluarga Rasulullah akan tergambar betapa indahnya akhlak mereka, dan rela bersosialisasi bersama keluarga nabi itu.