Syaikh An-Nawawi al-Bantani, dalam kitabnya Maraaqil ‘Ubudiyah, menjelaskan bahwa Ibadah sebagai jalan mendekatkan diri kepada Allah dengan cara menjalankan ketaatan dari amalan yang diwajibkan oleh Allah atas dirinya baik secara individu (fardhu ‘ain), maupun secara kolektif (fardhu kifayah), dan amalan-amalan sunnah hingga Allah mencintainya.
Dan apabila Allah telan mencintainya, maka Allah akan memelihara anggota badanya agar tidak berbuat apa pun yang tidak diridai oleh-Nya dan tidak berdiam diri tanpa melaksanakan ketaatan kepada-Nya.
Alhasil, barangsiapa yang bermujahadah unruk mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan fardu dan sunnah, niscaya Allah akan mendekatkan orang tersebut kehadirat-Nya, dan mengangkat derajatnya dari tingkat iman ke ihsan. Ia akan menjadi hamba yang menyembah Allah dengan sepenuh hati dan rasa rindu sehingga dapat melihat Allah dengan mata hati seakan-akan ia melihat-Nya dengan mata lahir.
Pada saat itulah, hatinya dipenuhi dengan Ma’rifat Allah dan perasaan cinta kepada-Nya, Cintanya semakin bertambah sehingga tidak ada lagi tempat dihatinya kecuali kecintaan kepada Allah.
Jika sudah demikian, maka segenap anggota-anggota badannya tidak akan berbuat kecuali yang sejalan dengan hati nuraninya. Inilah yang dimaksud bahwa di dalam hatinya tidak ada sesuatu melainkan Allah, ma’rifat Allah, cinta dan zikir kepada-Nya.
Kedua, bulan Ramadan membiasakan kita untuk mengendalikan nafsu amarah hingga kita menjadi pribadi yang tidak mudah marah dan menjadi pemaaf. Nafsu amarah di dalam Al-Qur’an disebut dengan nafsu yang memerintahkan kepada perilaku suu’ (kesesatan).
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Nafsu Amarah adalah nafsu yang pelengkap yang diberikan oleh Allah kepada manusia agar manusia dapat bergerak, berkembang biak, memiliki keinginan yang oleh Ibn Sina disebut dengan an-nafs al hayawaniyyah, sebagaimana nafsu yang dimiliki oleh binatang tentang keserakahan, ingin menguasai, ingin memiliki, suka menjalin permusuhan dan memiliki nafsu syhwat sebagai sifat dasar (menurut Ghazali: conatus) makhluk hidup.
Maka jika nafsu ini menguasai hati dan akal fikiran manusia, Allah menggambarkannya seperti binatang bahkan lebih rendah darinya sebagaiamana tertuang dalam QS. al-A’raf [7]: 179 berikut:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ ١٧٩
“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan banyak dari kalangan jin dan manusia untuk (masuk neraka) Jahanam (karena kesesatan mereka). Mereka memiliki hati yang tidak mereka pergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan memiliki mata yang tidak mereka pergunakan untuk melihat (ayat-ayat Allah), serta memiliki telinga yang tidak mereka pergunakan untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”