*) Oleh: Ustaz Fahmi Salim,
Direktur Baitul Maqdis Institute
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. ar-Rum: 30)
Ramadan tanpa terasa sudah usai. Sebentar lagi kita akan merayakan hari kemenangan melawan nafsu setelah melatih diri dengan berpuasa sebulan penuh.
Bagi masyarakat muslim Indonesia, mengakhiri ibadah Ramadan dan menyambut Idulfitri berarti dimulainya ritual sosial akbar berupa ‘mudik’ ke kampung halaman dan tanah kelahiran tempat asal kita masing-masing.
Mudik dilakukan setiap menjelang Hari Raya Idulfitri untuk menyambung asa dan silaturahmi dengan orang tua dan sanak famili yang tinggal di kampung, sementara anak dan saudara bekerja mencari nafkah di perantauan.
Kembali ke kampung tanah kelahiran selalu menghadirkan kenangan manis, berbagi pengalaman dan cerita, serta mengisi ulang semangat hidup dengan bertemu keluarga dan saudara yang lama berpisah.
Itulah makna mudik ke titik tanah kelahiran kita sebagai makhluk sosial yang terikat dengan suasana batin persaudaraan dan kasih sayang dengan keluarga.
Namun, sebagai muslim dan hamba Allah, kita pun sejatinya harus melihat dan memaknai fenomena ‘mudik’ ini dengan kaca mata agama. Karena walau bagaimana pun, identitas pertama dan utama kita adalah sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi (QS. Albaqarah: 30).
Makna ‘mudik’ baik secara sosial maupun akidah (agama) sama-sama dihubungkaitkan dengan makna ‘kembali ke asal’, yaitu ‘kembali ke fitrah’ kita selaku manusia hamba Allah.