Allah SWT sendiri, melalui wahyu Al-Qur’an yang Ia turunkan kepada Muhammad SAW, menyatakan bahwa ketika Ia menciptakan segenap makhluk-Nya, Ia memperkenalkan diri-Nya sendiri bahwa Dia-lah Tuhan mereka yang layak untuk mereka sembah dan tunduk kepada-Nya.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku Ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)”,” (QS. al-A’raf: 172).
Al-Qur’an bahkan menjelaskan bahwa beribadah kepada Allah Yang Esa adalah janji primordial dan abadi antara manusia dengan Allah SWT, seraya mengingatkan mereka agar tidak menghambakan diri kepada setan.
Ditegaskan pula bahwa ibadah yang tulus kepada Allah dan tidak diperbudak oleh syetan itu adalah jalan lurus yang menyelamatkan kita dari kehancuran.
Allah SWT berfirman: “Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian, dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus.” (Q.s. Yasin: 60-61)
Agar kita manusia dapat terus menerus mengenal Allah SWT dengan benar dan menghambakan diri kepada-Nya secara konsisten, setelah terlahir dalam keadaan fitrah, maka lingkungan yang kondusif, terutama pendidikan keluarga, dalam proses tumbuh kembang, menjadi suatu keniscayaan.
Rasulullah saw menjelaskan dalam hadisnya bahwa: “Setiap bayi yang dilahirkan terlahir dalam keadaan fithrah, kemudian dua orang tua nya yang membuat anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Rasul kemudian membaca firman Allah swt: fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Di sisi lain, Fitrah merupakan ciri kemanusiaan manusia. Jika fitrah itu ditanggalkan, sebagian atau keseluruhan, sama saja menanggalkan ciri kemanusiaan. Sehingga yang terjadi manusia akan tercerabut dari sifat kemanusiaannya.
Ketika manusia tidak menggunakan penglihatan, pendengaran dan hati atau akalnya dengan benar, atau potensi itu tidak digunakan untuk menerima kebenaran Islam, maka Allah menilai manusia yang demikian lebih sesat dan rendah daripada binatang.
Allah berfirman: “Mereka mempunyai kalbu, tetapi kalbu itu mereka tidak mereka gunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka mempunyai mata, tetapi mata itu tidak mereka gunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah); mereka mempunyai telinga, tetapi telinga itu tidak mereka gunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.” (QS. al-A’raf: 179).
Oleh Allah di dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa contoh manusia yang sering bertindak melampaui batas fitrahnya. Kepada mereka diutus para nabi dan rasul untuk mengawal dan membimbing masyarakat manusia agar tetap berada di atas fitrahnya yang lurus baik dalam aspek keyakinan (tauhid) maupun perilaku (amal).