Allah mengutus Nabi Nuh untuk mendobrak tradisi pengkultusan terhadap 5 tokoh pahlawan hingga diberhalakan kaumnya; Nabi Ibrahim untuk melawan tirani Namrudz dan memancangkan tiang fondasi peradaban tauhid dengan Ka’bah sebagai simbolnya; Nabi Hud untuk membimbing umatnya kepada Tauhid dan meninggalkan gaya hidup bermewahan dan tindakan zalim; Nabi Soleh untuk membimbing umatnya kepada Tauhid dan melawan tindakan israf (berlebihan) dan pengerusakan bumi yang berakar pada materialisme; Nabi Luth untuk mengembalikan kaumnya kepada fitrah dan melawan penyimpangan orientasi seksual (homoseksualitas); Nabi Syu’aib untuk melawan kezaliman ekonomi dan mengembalikan fitrah sosial ekonomi dalam hal transparansi dan keadilan transaksi; juga Nabi Daud untuk mengembalikan fitrah kehidupan politik berlandaskan nilai ilahiah dengan menjadikan keadilan dan kebenaran sebagai barometer pepolitikan yang sehat dan cerdas.
Demikian pula Qarun, Haman dan Fir’aun adalah tipikal koalisi kediktatoran politik, ekonomi dan kerahiban yang menghancurkan sendi kemanusiaan dengan memperbudak mereka. Nabi Musa diutus kepada Bani Israel untuk memerdekakan manusia dari perbudakan sesama manusia yang dilakoni trio tokoh anti-Tauhid dan anti-kemanusiaan itu.
Akhirnya, secara khusus, Allah mengutus rasul akhir zaman untuk menyempurnakan misi profetik keilahian dalam rangka menjaga dan mengarahkan fitrah manusia menuju kesuciannya dalam semua aspek kehidupan.
Allah perintahkan nabi Muhammad saw untuk meneladani para rasul sebelumnya: “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah (Hai Muhammad) petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al-An’am: 90)
Fitrah manusia menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diliputi kelemahan dan keterbatasan (QS. An-Nisa: 28). Fitrah tidak membenarkan kecuali manusia berposisi sebagai makhluk yang menyembah Penciptanya (QS. Yasin: 61).
Fitrah tidak bisa membenarkan manusia menempati posisi Tuhan sebagai pembuat syariat -Al-Hâkim- (lihat Q.s. Al-A’raf: 54, Al-Qasas: 70).
Fitrah tidak membenarkan manusia membatasi kekuasaan Allah hanya dalam perkara spiritual ibadah; sementara dalam perkara politik keduniaan, manusia sendiri yang berkuasa menetapkan aturannya.
Kenyataan sekularistik seperti itu merupakan penyimpangan terhadap fitrah. Akibatnya, manusia akan terjerumus ke penghambaan terhadap hawa nafsu dan materi.
Allah SWT menyatakan: “Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya.” (QS al-Furqan: 43-44)
Pemasungan kekuasaan Allah SWT dalam pengaturan masyarakat mengakibatkan aturan sosial bersifat antroposentrik. Aturan tersebut tidak memuat nilai transenden.
Padahal sifat transenden sebuah aturan merupakan tuntutan fitrah, karena pada kenyataannya manusia serba lemah, dan manusia memiliki naluri beragama dan spiritualitas.
Pola kehidupan seperti itu telah menggerus moralitas manusia dan menanggalkan aspek insani (humanis) dari diri manusia.