Jika para Nabi saja sangat butuh istighfar, sebagaimana yang Allah Ta’ala ceritakan dalam Al-Qur’an, maka selain Nabi tentu lebih butuh terhadap istighfar, dalam semua kondisi dan keadaan, bahkan setelah beribadah kepada Allah Ta’ala.
Seorang hamba yang menunaikan salat, berpuasa, bersedekah, mereka butuh istighfar. Lalu, bagaimana lagi dengan hamba yang bermaksiat kepada-Nya?
Oleh karena itu, seorang hamba membutuhkan dua hal ini: tauhid dan istighfar.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah (sesembahan) (yang berhak disembah) selain Allah Ta’ala dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang- orang mukmin, laki- laki dan perempuan.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk bertauhid dan beristighfar.
Teladan Nabi Yunus Dalam Mentauhidkan Allah
Ketika Nabi Yunus alaihis salaam berada dalam kegelapan (dalam perut ikan), beliau menyeru dengan tauhid dan istighfar, sebagaimana diceritakan oleh Allah Ta’ala,
“Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang zalim.“ (QS. Al-Anbiya’ [21]: 87)
Lihatlah, bagaimana Nabi Yunus menyeru dengan tauhid, disertai pengakuan terhadap dosa dan kesalahannya.
Inilah adat kebiasaan orang orang yang beriman, yaitu senantiasa dan terus-menerus beristighfar, lebih-lebih ketika berada di penghujung amal saleh, ketika di akhir majelis ilmu, atau ketika di pertemuan yang sifatnya umum.
Karena bisa jadi dalam majelis tersebut terdapat ghibah, namimah (adu domba), dan senda gurau yang melampaui batas.