Kurang Kader Ulama atau Kader Muballigh?
Keluhan bahwa kader Muhammadiyah dikenal tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan semisalnya menjadi “pendahuluan” yang bermuara pada kesimpulan bahwa Muhammadiyah “harus” mempelajari kitab turas berbahasa Arab.
Padahal, perlu dicermati bahwa ada kader ulama (istilah yang dibahas dimana-mana) dan kader mubaligh (yang ditemukan dalam praktiknya).
Untuk mencapai kriteria kader ulama membutuhkan proses yang tidak mudah, harus menghafal banyak dalil Al-Qur’an dan hadis, harus mampu berbahasa Arab dengan aktif.
Sedangkan kriteria kader mubaligh, sebenarnya mampu dididik dan dibina oleh lingkup terkecil mulai dari keluarga, ranting, cabang masjid hingga sekolah.
Kriteria kader ulama Muhammadiyah secara lengkap yang dikeluhkan oleh banyak orang sendiri masih bersifat abstrak. Terkadang kriteria yang dijelaskan oleh para pemberi keluhan adalah kriteria tentang dirinya sendiri, atau ideal secara subjektif.
Kader ulama sendiri sebenarnya sudah banyak ditemukan di Majelis Tarjih dan Tajdid berikut berbagai program kaderisasinya, dibantu dengan keberadaan banyak pesantren Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Akan tetapi memang pesantren-pesantren ini membutuhkan sistem yang lebih terkonsep untuk meningkatkan efektivitasnya.
Sedangkan yang sering berada dan ditemukan di lapangan adalah kader mubaligh, yang menjadi imam, khatib, pemateri kultum, dan semisalnya.
Mereka dituntut mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, menyampaikan materi dengan baik, dan berinteraksi dengan baik pula bersama masyarakat. Ini sudah banyak ditemukan, bahkan sebagian tidak mendapat jadwal di bulan Ramadan.
Kalau masih dirinci lagi adalah yang memiliki kemampuan mengakses kitab turas berbahasa Arab, itu berarti Muhammadiyah kekurangan penerjemah bahasa Arab, bukan kurang kader ulama atau mubaligh.