Program Mudik Inklusi Ramah Anak dan Disabilitas Diikuti 278 Orang
Program mudik iklusi bagi disabilitas yang memanfaatkan tranportasi pesawat udara.
UM Surabaya

Program Mudik Inklusi Ramah Anak dan Disabilitas (MIRAD) pada libur lebaran 2024 diikuti sebanyak 278 disabilitas, pendamping dan keluarga. Mereka terdiri dari 44 anak anak, 6 lansia, 1 bumil, 124 perempuan serta 109 disabilitas. Setelah menghabiskan liburan silaturahim di kampung halaman, selanjutnya mereka menempuh arus balik, mulai Ahad (14/04/2024) sampai dengan Senin (15/4/2024) dengan moda transportasi bus, kereta dan pesawat.

Koordinator MIRAD Catur Sigit Nugroho menyampaikan arus balik mudik disabilitas melalui gerakan MIRAD pada Ahad (14/4/2024), ada yang memanfaatkan bus dan kereta. Bus akan start dari Madiun, Ngawi,  Solo, Semarang dan Jakarta. Sedangkan kereta berangkat dari beberapa Stasiun di Jawa Tengah, seperti Semarang dan Purworejo.

Adapun penumpangnya adalah disabilitas fisik non kursi roda, disabilitas fisik pengguna kursi roda, tuna netra, tuna rungu, tuna grahita dan mental

Ketua Pimpinan Pusat Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (PP Hidimu) Fajri Hidayatullah menyampaikan dirinya menyambut baik gerakan MIRAD, dalam pengarusutamaan inklusi di semua sektor, baik pelayanan publik maupun sarana transportasinya.

Baginya inklusi adalah amanah konstitusi, untuk kita bersama bisa menikmati apapun, apapun bentuknya dalam fasilitas Negara.

“Karena negara dibangun juga untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, termasuk warga negara penyandang disabilitas,” jelasnya.

Ia berharap kolaborasi yang terus berlangsung antara pemerintah, BUMN dan pihak terkait, terus berbenah. Dalam rangka menegakkan Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Bahwa semua orang, tidak terkecuali penyandang disabilitas berhak mendapatkan pelayanan  publik yang setara.

Ia juga menitikberatkan pentingnya fasilitas dilengkapi. Meski dalam mudik disabilitas disediakan pendamping, namun dirinya ingin menegaskan, prinsip kemandirian dalam perspektif disabilitas, harus mengedepankan kelengkapan fasilitasnya, baru bicara adanya pendamping.

“Jadi bukan bergantung sepenuhnya. Jadi tidak serta merta dengan tersedianya pendamping kemudian mengabaikan pembangunan yang berorientasi pada kemandirian disabilitas itu sendiri,” jelasnya.

Kemudian kedua, mengenai inklusi. Tentu terkait erat dengan kesetaraan ataupun persamaan. Tentu melekat di semua sektor.

Fajri melihat masuknya era digitilasasi, menjadi pintu masuk mempercepat kesetaraan atau inklusi tersebut. Termasuk didalamnya moda transportasi yang dapat diakses melalui teknologi digital, yang kemudian dengan teknologi dapat mendukung kemandirian disabilitas. Jadi dengan digitalisasi, memang disabilitas dapat menikmati dan merasakan segalanya, dengan ini mendorong adanya kemandirian.

“Misalkan disabilitas netra seperti saya, dengan modal gadget dan pembaca layar ditambah aksessibilitas dalam aplikasi, maka akan memudahkan disabilitas saya, yang akan berdampak pada kegiatan ekonomi saya. Melalui praktek digitalisasi, saya berharap juga berlaku di semua sektor kehidupan, tidak hanya di transportasi melalui program MIRAD,” ujarnya.

Karena untuk menikmati segala pelayanan publik, lanjut Fajri, perspektif disabilitasnya selalu mengatakan, hambatan itu dapat ditangani. Sehingga peran digitalisasi, termasuk penerapannya di sektor transportasi, sangat membantu dan menumbuhkan ekonomi penyandang disabilitas.

Gerakan MIRAD dapat terlaksana, berkat dukungan BUMN melalui Bank Syariah Indonesia, Tim Inklusi Disabilitas Kementerian Perhubungan, Himpunan Disabilitas Muhammadiyah (Hidimu) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk). (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini