Dalam surah al-Taubah (9): 8, maknanya “hubungan kekerabatan”, bentuknya fi’il mudari` (يرقبوا). Dalm surah Hud (11): 93, ada dua istilah (irtaqibu dan raqib). Term pertama digunakan untuk arti perintah menunggu –semakna dengan QS al-Dukhan (64): 10, 59; QS al-Qamar (54): 27, untuk term kedua (raqib), bermakna menunggu dalam konteks memantau sesuatu yang akan terjadi.
Pada QS Taha (20): 94, digunakan dengan makna yang sedikit bersinggungan dengan “memantau” yaitu “memperhatikan”. Konteksnya yaitu tentang kemarahan nabi Musa terhadap saudaranya, Harun yang dianggap kurang “waspada” dan tidak mengindahkan pesannya (wa lam tarqub) sehingga Bani Israil menyembah sapi.
Jalalain memaknainya, menunggu. Ibnu Katsir memaknai “memelihara”, dan Qurtubi mengartikannya “memperhatikan”. Begitu juga term pada QS al-Qasas (28): 18 dan 21 “kha’ifan yataraqqabu” bermakna: harap cemas menanti berita. Demikian Tabari dan al-Razi.
Dalam QS Muhammad (47): 4 digunakan term “darbu al-riqab” makna secara bahasa adalah bisa bermakna pancung. Namun Ibnu Asyur dalam Tahrir wa al-Tanwir, itu hanya sebagai simbol dari peperangan yang dahsyat, maknanya sama dengan qatilu (perangilah) orang-orang musyrik itu.
Adapun yang berhubungan dengan asma’ al-husna dengan term “raqib” dengan kontrol, pengawasan langsung Allah terhadap hamba-Nya. Dalam surah al-Nisa’ (4): 1, term raqib ( رَقِيْبٌ) ini berkaitan dengan penciptaan manusia, relasi gender dan interaksi sosial yang harus dibangun atas dasar takwa.
Term lainnya menjelaskan tentang penegasan Nabi Isa as tentang trinitas. Nabi Isa tidak pernah mengajarkan kepada umatnya kecuali apa yang diajarkan Allah, yaitu tauhid menunggalkan-Nya. Allah menjadi pengontrol langsung terhadap umat Isa setelah beliau meninggal.
Surah al-Ahzab (33): 53 terkait dengan hubungan harmonis antara suami istri. Terdapat 1 ayat yang menggunakan term yang sama, tetapi berhubungan dengan tugas Malaikat yang selalu hadir mengawasi, mengontrol (Surah Qaf (50): 18.
Ada tiga hal prinsip yang menjadi dasar pewahyuan “ayat-ayat manajemen pengawasan atau kontrol” dalam Al-Qur’an. Yakni, dasar teologis, dasar humanistik, dasar maslahah al-mursalah. Tiga prinsip ini merupakan ciri khas al-Qur’an, baik secara tekstual maupun kontekstual.
Pertama, Dasar Teologis. Al-Qur’an dalam menjelaskan apapun, tidak pernah lepas dari dasar teologis ini. Keyword-nya ada pada prinsip “La ilaha illa Allah”. Statemen ini sangat dalam, luas makna dan konsekwensinya.
Dalam Islam, prinsip ini menjadi dasar dari paradigma tauhid (menunggalkan Allah SWT) dalam segala aspek, tanpa limitasi. Dialah sebagai Pencipta segalanya, Sumber dari segala realitas, baik empiris, rasional dan yang irasional.
Dialah satu-satunya yang pantas dan paling berhak disembah: “إنَّنِى أنَا اللهَ لاَ إلَهَ إلاَّ أنَا فَعْبُدْنِى ” (Sesungguhnya Sayalah Allah, tiada Pencipta, Pemberi rezeki dan segalanya selain Saya, maka beribadahlah kepadaKu) (QS Taha (20): 14).