Dalam paradigma tauhid, Dia menjadi sumber integrasi alam semesta, relasi antar sesama manusia, manusia dan alam, bahkan termasuk konsep-konsep –seperti manajemen kontrol – yang dilahirkan oleh manusia. Sehingga dengan demikian konsep-konsep tersebut tidak kering dari unsur spiritualitas (Allah “hadir” di dalam konsep-konsep tersebut).
Manajemen kontrol dalam perspektif tauhid menuntut manusia sebagai hamba untuk menghidupkan “sinyal” kesadaran tentang kehadiran Allah dalam segala aktivitas manusia. Orang yang meyakini kehadiran Tuhannya dalam aktifitasnya akan merasa selalu terpantau oleh-Nya. Itulah puncak kesadaran spiritual manusia.
Kedua, dasar humanistik (kemanusiaan). Ada dua aspek penting dalam dasar humanistik ini yang terkait dengan manajemen kontrol dalam Al-Qur’an yaitu: pertama, manusia sebagai hamba dan khalifah Allah, kedua, sunnatullah (kausalitas):
A. Manusia sebagai hamba. Masalah manajemen pengawasan dalam Al-Qur’an tidak bisa dipisahkan dari eksistensi manusia sebagai hamba Allah sekaligus pelaku. Dasar humanistik diambil, karena sungguhpun dia sebagai khalifah yang diberi wewenang untuk memanaj bumi, namun tetap menjadi bagian dari ciptaan Allah SWT yang dalam satu sisi –suka atau tidak suka- harus tunduk kepada takdir-Nya, sisi lainnya mendapatkan kebebasan untuk melakukan, memilih dan berkehendak (bentuk penghormatan terhadap hak asasinya).
Sebagai khalifah Allah di bumi, manusia tidak secara otomatis menjadi raja bagi alam ini yang kemudian bebas melakukan, memiliki, mengeksploitasi apapun yang diinginkannya. Namun dia terikat dengan pengabdian kepada pencipta-Nya yang Maha Mutlak (QS al-Dzariyat (51): 56).
B. Sunnatullah. Sunnatullah yang terjadi pada diri manusia berbeda dengan Malaikat dan iblis. Keduanya memiliki unsur penciptaan dan tabiat yang stagnan. Malaikat diciptakan dari cahaya, iblis dari api. Tabiaat Malaikat adalah taat, tidak pernah membangkang terhadap Allah, iblis memiliki tabiat membangkan. Keduanya stagnan, kaku. Mereka ibarat dua kutub yang tidak pernah bisa dipertemukan.
Adapun manusia diciptakan dari dua unsur yaitu unsur tanah dan ruh yang ditiupkan oleh Allah. Hidupnya di antara dua kutub tersebut, karenanya dinamis. Kadang ke kutub Malaikat yang taat, dan kadang condong ke kutub iblis yang suka membangkang, misalnya ayat-ayat tentang sifat-sifat negatif manusia dan keadaannya yang lemah, terbatas ialah:
Surah al-Nisa’ (4): 28; tidak pandai bersyukur: Surah al-Haj (22): 66; surah fussilat (41): 51; mudah berputus asa, dan kufur: surah Hud (11): 9; surah al-Isra’ (17): 83; surah fussilat (41): 49; Ðalim dan kufur nikmat: surah Ibrahim (14): 34; surah al-Isra’ (17): 67; surah al-Zumar (39): 8; surah al-Syura (42): 48; pembantah yang nyata: surah al-NaÍl (16): 4; surah Yasin (36): 77; bertabiat terburu-buru: surah al-Isra’ (17): 11; surah al-Anbiya’: 37; bertabiat bakhil: surah al-Isra’ (17): 100; banyak membantah: surah al-Kahfi (18): 54; zalim dan bodoh: surah al-Ahzab (33): 72; sombong, lupa diri: surah al-Zumar(39): 49; pengingkar, pembangkang, tidak mengenang budi: surah al-Zukhruf (43):15; surah `Abasa (80):17 resah gelisah: surah al-Ma`arij (70): 19; melampaui batas: surah (96): 6. (Aunur Rofiq (2011), Tafsir Resolusi Konflik: ModelManajemen Interaksi dan Deradikalisasi Beragama Perspektif al-Qur’an dan Piagam Madinah)
Itu sudah menjadi sunnatullah dalam alam, khususnya untuk manusia. Malaikat dan iblis dengan tabiatnya yang stagnan, serta manusia dengan iman atau tabiat yang dinamis. Atas dasar tersebut, manajemen kontrol menjadi tuntutan bagi manusia, agar tetap dalam koridor ajaran Allah dan Rasulnya. Hanya itu yang bisa menjamin bahwa manusia bisa bebas dari “bisikan” setan yang notabenenya negatif untuk manusia.
Ketiga, dasar maslahah al-mursalah. Maslahah mursalah dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah disebut sebagai teknik penetapan hukum. Kriterianya adalah (1) memerhatikan kesesuaian kemaslahatan dengan maqasid syariah, (2) memperhatikan manfaat dan menghindarkan dari mafsadah atau kesulitan, baik kepada diri pelakunya maupun orang lain, (3) mengedepankan prinsip keseimbangan sebagai bentuk kemaslahatan. Maksudnya adalah kesetaraan. Keseimbangan ini merupakan bentuk implementasi keadilan, (4) kemaslahatan yang menghadirkan kepastian dan ketertiban. Atas dasar ini, manajemen kontrol atau pengawasan menjadi sangat penting untuk dilakukan. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News