Posisi Muhammadiyah Tidak Oposisi Pemerintah, Juga Bukan Benalu Kekuasaan
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir
UM Surabaya

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menyampaikan, posisi Muhammadiyah dengan pemerintahan tidak sebagai oposisi juga tidak anti pemerintah.

Sebagai organisasi Islam terbesar dan mandiri, Muhammadiyah dalam sistem kekuasaan di Indonesia tidak ingin menjadi benalu – yang hanya menempel, tidak memiliki etos mandiri bergerak, memberi, dan berjuang untuk kemanfaatan.

“Muhammadiyah tidak jadi benalu di sistem kekuasaan, sedemikian Muhammadiyah juga bukan menjadi oposisi, sekaligus juga tidak anti kekuasaan. Di situlah posisi Muhammadiyah,” kata Haedar pada Kamis (2/5/2024) di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta.

Haedar mengibaratkan, bantuan yang disalurkan melalui Muhammadiyah baik dari pemerintah maupun yang lainnya, Muhammadiyah memposisikan dirinya sebagai talang, hanya mengalirkan atau menyalurkan untuk kesejahteraan umat dan bangsa.

Posisi Muhammadiyah yang moderat dalam sistem kekuasaan menjadikannya percaya diri dan penuh dengan martabat ketika menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial, dan rumah bagi norma serta etika umat dan bangsa.

Mentalitas mandiri itu, kata Haedar, tidak hanya dimiliki organisasi, tapi juga harus diinternalisasi oleh setiap individu warga Muhammadiyah. Boleh saja hidup hanya cukup, tapi elegan dalam hidup, tidak meminta-minta, dan memiliki dignity.

“Itu yang saya maksud sebagai tradisi besar Muhammadiyah, termasuk tradisi berpikir berkemajuan,” imbuh Haedar.

Bahkan Haedar menyebut, state of mind tersebut adalah tradisi besar Muhammadiyah yang tidak hanya berupa simbolis pakaian. Oleh karena itu, Haedar meminta tradisi besar itu dijaga oleh setiap kader dan warga Muhammadiyah.

Namun demikian, Guru Besar Ilmu Sosiologi ini tidak membatasi sumber bacaan kader Muhammadiyah. Tidak perlu serba anti dengan yang lain, tapi memandang semua itu dalam bingkai moderat yang diajarkan oleh Muhammadiyah.

Muhammadiyah sudah dikenal sebagai organisasi yang berpikiran maju sejak lama. Maka dalam merespon perubahan – terutama tantangan dari Barat, tidak boleh menanggapinya secara konservatif, sebab itu tidak sesuai dengan jati diri.

“Ini yang terjadi sekarang, gerakan-gerakan keagamaan itu memunculkan sektarian respon dari pada yang moderat, bahkan ada yang mengambil jalan ekstrim, karena serba liberal – sekuler, lalu larinya yang serba konservatif,” ungkapnya. (*/tim)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini