– Sanksi terhadap apa yang difatwakan/masukan dari orang lain (yang menganggap/memandang hal itu adalah bukan dosa) dan ciri/caranya adalah dengan mengetahui bahwa sesuatu (perbuatan) itu sangat diingkari oleh pelakunya tetapi tidak diingkari oleh orang lain (dianggap biasa). Makna inilah yang terdapat dalam lafaz riwayat yang lain; ” ” (meskipun kamu diberi fatwa/masukan oleh orang lain).
Kondisi ini bisa terjadi bila orang yang diberi fatwa/masukan itu adalah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah dengan iman sedangkan orang yang memberikan fatwa/masukan itu sekadar menduga-duga atau mengikuti hawa nafsunya tanpa dilandasi dalil syar’i.
Akan tetapi bila yang difatwakan/masukan itu berdasarkan dalil syar’i, maka dia (orang yang diberi fatwa/masukan) wajib merujuknya/meresponsnya meskipun dada/hatinya belum terbuka untuk menerimanya seperti perihal rukhshah yang disyariatkan; semisal berbuka puasa ketika dalam keadaan bepergian, sakit, meng-qashar salat, dan lain-lain yang bagi orang-orang yang jahil tidak terbuka hatinya untuk menerima itu, maka hal ini (pengingkaran mereka) tidak bisa dijadikan ‘ibrah (dalil/alasan).
Dan hal semacam ini pernah dialami oleh para sahabat contohnya perintah Beliau shallallahu alaihi wasallam pada waktu haji agar mereka melakukan haji tamattu’ atau ketika perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu mereka sempat mengingkarinya karena hati mereka menolaknya.
Masalah Ilham
Persoalan merujuk kepada hati nurani dalam menghadapi hal yang masih samar sebagaimana hadis di atas berimplikasi kepada masalah ilham yang sering diperbincangkan oleh para Fuqaha Syafi’iyah dan Hanafiyah yang menganut aliran kalam dalam Ushul Fiqh; apakah ilham tersebut hujjah atau bukan dalam pengambilan hukum syar’i?
Dalam masalah ini banyak sekali pendapat-pendapat khususnya di kalangan kaum Sufi dan Ahli Kalam yang semuanya tidak berdasarkan kepada dalil syar’i.
Karenanya, Imam Ahmad mengecam hal itu dan beliau menganjurkan agar merujuk kepada hati nurani dalam menghadapi hal yang masih samar tersebut bila hal itu berdasarkan dalil syar’i sebab nash-nash nabawi yang menganjurkan hal itu sangat jelas.
Artinya kecamannya terhadap kaum Sufi dan Ahli Kalam bukan atas perbuatan merujuk hati nurani tetapi atas kebiasaan mereka seperti itu yang dilakukan tanpa dalil syar’i .
Dalam ilmu hadis, kacamata ini (ilham) dipakai oleh Ulama Hadits yang benar-benar menggeluti dan mengusainya (an-Naqqad).
Hal itu mereka lakukan dalam menilai keadaan para perawi dan para pemberita dan sifat-sifat mereka seperti kejujuran dan kebohongan mereka, kekuatan daya hafal dan kedhabitan mereka, tetapi orang-orang seperti ini sangat langka sekali.
Di antara Ulama Hadits yang dianggap memiliki cara dan naluri seperti ini (ilham) adalah Imam Abu Zur’ah, Abu Hatim ar-Razi, Abdurrahman bin Mahdi, an-Nasai, al-‘Uqaili, Ibnu ‘Adi dan ad-Daruquthni.