Visi Salafi 2030-2050: Indonesia Negeri Sunah, tanpa Muhammadiyah dan NU
Nurbani Yusuf
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Siapa bisa sanggah sukses dakwah Salafi selama satu dasa warsa terakhir seperti tidak terbendung.

Migrasi pimpinan pengurus aktivis para penggerak Muhammadiyah, NU, LDII, Jatman Al Irsyad, ke Salafi termasuk beberapa masjid dan amal usaha lainnya berpindah manhaj, sungguh eksotik.

Dakwah salafi menjadi alternatif ketika para pemain lama mengalami stagnasi, kebekuan dan sibuk dengan birokrasi organisasi.

Baca juga: Cara Salafi Mengkritik Ulama Kami Sungguh Brutal

***

Bukan organisasinya yang lenyap, tapi cara berpikirnya yang menghilang dan berubah menjadi salafisme-wahabisme.

Itulah pokok harakah infiltrasi salafisme tidak mengajak mendirikan masjid atau lainnya, tapi mengajak kita semua berpikir ala manhaj salafisme, yang terbukti sukses dalam dakwahnya.

Kenapa Salafi tak bikin organisasi? Sebab organisasi mempersulit gerakan. Mengambil model OTB (organisasi tanpa bentuk), Salafi menjadi lincah bergerak bisa di mana pun tidak dibatasi ruang dan waktu, cara ini terbukti ampuh mensalafikan masjid berikut organisasi atau perkumpulannya.

Baca juga: Menunggu Aksi KOKAM Jadi Pengawal Ulama Muhammadiyah

***

Karena tidak berbentuk, salafisme dan wahabisme bisa dengan mudah dan lincah menawarkan gagasan, ide-ide dan doktrin sebagaimana tercakup dalam manhajnya, saya menyebutnya sebagai :

Strategi Dakwah Salafi

Cara Pertama:
Infiltrasi. Salafi bisa menginfiltrasi men-salafikan di mana pun tempat yang di tinggali – dalam beberapa riset yang dilakukan BIN.

Gerakan Islam Pasca Reformasi disebutkan, bahwa gerakan ini sangat lincah mengendors dan mensalafikan fasilitas umum terutama masjid-masjid tidak bertuan dan belum punya kelamin dan stempel organisasi.

Ketika di Muhammadiyah dan NU, infiltrasi ini tidak melepaskan baju kemuhammadiyahan atau ke-NU-an, tapi memberi corak dan watak salafisme.

Ringkasnya: organisasinya tetap Muhammadiyah atau NU, tapi berotak dan berpikir salafisme dan wahabisme.

Baca juga: Varian Salafi: Ilmi, Manhaji, Jihadi, dan Takfiri

5 KOMENTAR

  1. Maka kaderisasi penting, kita sering terkagum kagum dg pesatnya perkembangan amal usaha, tapi kita lupa mengupayakan keberlangsungan penggemblengan kaderisasi lewat amal usaha itu sendiri.

  2. Mantap Ustadz. Mungkin lebih bagus kalau riset dilakukan dengan cara hadir ke kajian2nya. Rasakan perbedaan kajian disana. Karena umumnya Ustadz Salafi-Wahabisme sudah sangat upgrade dengan ilmu. Saya sering memperhatikan ustadz2 dari kalangan Muh, dan NU ternyata masih banyak yg tidak pas Makhraj Hurufnya. Padahal Ilmu membaca Qur’an adalah Pokoknya, bahkan mereka ada yg sudah S2 ilmu agama dsb.
    Dan organisasi masih fokus dengan Kaderisasi yg tujuannya utk menambah jumlah anggota. Berbanding terbalik dg Salafi-Wahabi yg tujuan mereka murni dakwah, menyampaikan kebenaran sesuai yg mereka fahami sekalipun bertentangan dengan kebiasaan masyarakat.
    Karna saya masih sering lihat ust2 muhammadiyah yg masih berfaham aswaja alias masih ndak berani mensyirkan bacaan basmalahnya, dzikir bersama karna masy disana masih dzikir bersama, dsb.

    Jadi, jika memang Muhammadiyah mau berbenah, ayo disaring kembali ustadz2nya.
    Jangan sampai mereka berceramah tanpa ilmu dan hanya modal Tokoh masyarakat dan tidak mau belajar dg ustadz2 lain krna kebnyakan jadwal ceramahnya.

    • Orang awam yang dikehendaki pendekatan doktriner. Ustadz-ustadz Salafi terhadap hadits sangat rigid rawi dan sanad menjadi titik lemah hadits. Namun dalam memegang pendapat ustadz rujukannya kokoh seperti memegang hadits. Padahal pendapat ustadz itu dalam timbangan hukum Islam adalah dzonniyyu al dalalah (hujjah persangkaan). Ustadz2 Salafi tidak memberikan ruang dalam perkara hal itu ada ulama yang memiliki pandangan berbeda. Jika para ustadz semua Ormas mengambil cara-cara doktriner, kebenaran tunggal, padahal padanya terdapat ruang perbedaan maka yang akan terjadi di tengah umat Islam adalah clash (pertikaian) seperti pada abad pertengahan. Terjadi saling pembunuhan yang dikenal dengan peristiwa al-Mihnah.

      Contoh yang anda ketengahkah tentang mensyirkan bacaan basmalah, silahkan merujuk pada hasil musyawarah nasional Tarjih.

      Untuk peningkatan kapasitas, kompetensi dan keilmuan tentu itu menjadi tanggungjawab pribadi-pribadi. Muhammadiyah tidak kurang-kurang memberikan dorongan berupa pemberian beasiswa dan rekomendasi untuk kemajuan belajar.

  3. Fenomena yang sama kita temukan di daerah saya, adanya pondok tahfidz yang menjadi embrio lahirnya rumah rumah tahfidz, da’wahnya menggurita, mereka melakukan promosi dengan sedikit bicara banyak kerja, para hafidz yang memang bersuara merdu menyerbu masjid masjid Muh dan masjid tanpa label, mereka menjadi imam dan melakukan pemberantasan buta huruf Alquran, serta kajian sehingga pelan tapi pasti Muh kehilangan simpatisan, bagus memang tetapi kadang terkesan jadi tidak toleran, dan dominan. Mereka tidak menyadari ngaji dimana masjidnya siapa. Dan sebagai kader Muh, rasa keprihatinan sangat saya rasakan, antisipasi saya lakukan dengan cara memberikan usulan tetapi tidak ada respon dan jawaban serta tanggapan. Untuk itu Muh sebaiknya membuat ruang publik online dengan menampung pemikiran pemikiran para kader dan simpatisan, buat mereka bisa login otomatis dengan NBM. akan akan kami sampaikan usulan usulan yang tidak pernah di respon dan tidak ada tanggapan sebagai masukan dan bahan kajian dari kader kader yang masih punya perhatian dan kesadaran supaya dapat dijadikan kerangka untuk menyusun kebijakan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini