Sebagaimana pandangan Jhon Hoffman dalam A Glossary of Political Theory (2007), disebutkan bahwa arus globalisasi dengan senjatanya teknologi informasi, sangat berdampak pada pola perilaku sosial-kultur termasuk sosio-keagamaan di masyarakat. Apalagi jika di sebuah negara (baca: ormas keagamaan) tidak memiliki filter atau ideologi yang kuat, maka akan sangat terasa sekali perubahan yang terjadi.
Masifnya arus informasi itu bahkan sudah menembus “jantung” ruang-ruang privat. Hal itu menjadikan individu atau masyarakat bebas berselancar mengakses informasi apapun yang dibutuhkan termasuk berselancar ideologi keagamaan, tanpa memperdulikan lagi batasan ideologi dan organisasi.
Mengutip Dominique Wolton dalam Kritik atas Teori Komunikasi (2007), dengan dimulainya era internet maka, kita telah memasuki era kesunyian (suwung) interaktif. Di mana, individu terbebas dari segala aturan dan paksaan. Ujian kesunyian ini menjadi terasa riil di saat menghadapi banyaknya kesulitan dalam menjalin kontak dengan sesama.
Media informasi memiliki ketersediaan beragam sumber bacaan dan wacana ideologi keagamaan mulai dari wacana ideologi keagamaan liberal, moderat, hingga radikal. Semua ada. Artinya posisi dan peran ormas keagamaan (baca: Muhammadiyah) saat ini cenderung tidak kuasa melakukan monopoli sumber dan pengarusutamaan ideologi sebagai pegangan dalam praktik kehidupan warganya.
Berangkat dari realitas tersebut, maka diperlukan upaya pengembangan atau pembaharuan (tajdid) dalam strategi komunikasi dan pengorganisasian dakwah Muhammadiyah terutama pada Majelis Tabligh.
Majelis Tabligh merupakan lembaga yang memiliki posisi sangat strategis sebagai media terdepan dalam menyiarkan ideologi dan ajaran Muhammadiyah di jamaah Muhammadiyah dan masyarakat Indonesia.
Artinya, Majelis Tabligh adalah ujung tombak dan gambaran real Persyarikatan Muhammadiyah. Sehingga, ada istilah “abang-ijone” Muhammadiyah tergantung dari profil para mubaligh Muhammadiyah. Dari latar tersebut, maka diperlukan strategi baru dalam komunikasi dan pengorganisasian dakwah Muhammadiyah.
Ada beberapa masukan yang mungkin dapat dijadikan gambaran dalam pembaharuan strategi komunikasi dan pengorganisasian dakwah Muhammadiyah:
Pertama, pembentukan Mubaligh Digital Muhammadiyah (MDM). Komunitas MDM ini bisa berjumlah 10-30 kader yang dibentuk di tingkat daerah (PDM). Mereka bisa direkrut dari mahasiswa Prodi Teknologi Informasi/Komputer di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang ada di daerah masing-masing.
Komunitas MDM ini disiapkan untuk mengawal dan melaksanan teknis lapangan dalam rangka dakwah digital Muhammadiyah. Maka, untuk membangun dakwah digital Muhammadiyah, Majelis Tabligh bisa menjalin kerjasama dengan Prodi Teknologi Informasi/Komputer PTM yang ada di sekitarnya.
Kedua, pembuatan kanal/portal online di Majelis Tabligh di setiap tingkatan daerah (PDM). Pembuatan kanal portal media online sangat strategis dalam rangka penyebaran ideologi, fikih Muhammadiyah, dan program dakwah Muhammadiyah. Serta dapat menjadi penyeimbang kanal-kanal media online dari kelompok Salafi yang masif dan cenderung menguasai media sosial.