Betapa kuatnya hubungan antarapenyanyi dengan penyair, bahkan dahulu seseorang di katakan “menyanyi” itu ketika dia membuat bait syair atau membacanya. Artinya mereka seorang syair itu juga penyanyi, bukan hanya sekedar membuat bait syairnya saja. Cara mereka membacanya pun dengan bernyanyi. Maka dari itu, orang yang sekedar membuat bait syair saja pun, disebut “ghonna” (telah bernyanyi)
Di poin terakhir ini, mungkin akan menjadi bukti terkuat bahwa UAH tidak salah ketika menerjemahkan penyair sebagai penyanyi/pemusik. Jika memang dianggap masih salah pun, setidaknya sekarang lebih bisa menerima kenyataan, bahwa ucapan beliau bukan sesuatu yang baru. Jadi tidak layak dikatakan sebuah kesalahan, apalagi dianggap fatal. Karena nyata nya yang menerjemahkan seperti itu bukan hanya UAH, tapi juga tertulis di kitab² sejarah dan sastra. Justru ini malah menjadi bukti keluasan ilmu UAH, karena ucapan beliau itu sesuai dengan buku buku sastra, tidak bertentangan. Tetapi malah dianggap 𝕒𝕟𝕖𝕙/𝕟𝕪𝕖𝕝𝕖𝕟𝕖𝕙 oleh sebagian orang yang belum mengetahui nya.
Sangat disayangkan, bagi yang terburu-buru memberikan statemen, apalagi sampai berkali-kali dengan berbagai kritikan. Terkadang sesuatu yang benar menjadi terlihat salah disebabkan objek yang menerima tidak mampu menyerapnya. ucapan UAH memang tidak salah, tetapi tidak semua orang bisa memahami isi ucapan yang UAH bawakan.
Berbeda ceritanya jika ucapan tersebut dilontarkan di hadapan ahli sastra dan sejarah, mungkin tidak akan terjadi seperti ini.
Maka, tindakan UAH mengucapkan seperti itu di hadapan umum adalah sebuah kesalahan, tetapi ucapan beliau sendiri tidak salah, karena mempunyai dasar dan argumentasi yang sangat kuat.
Kesimpulan dari tulisan di atas, antara musik dengan syair memiliki hubungan yang sangat kuat dan tak terpisahkan. sehingga bukan suatu kesalahan menyebutkan syair itu sebagai nyayian atau musik.
Apa yang dilakukan para pengeritik dengan 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 melihat definisi di kamus, apalagi KBBI tentu tidak menyelesaikan masalah, karena ke-dua nya sudah jelas memang sesuatu yang berbeda. Tetapi dua sesuatu yang berbeda definisinya, jika memiliki hubungan yang erat, itu sah saja kita sebut salah satunya. Contohnya, kita boleh menyebut Qur’an dengan maksud mushaf, meskipun keduanya secara definisi berbeda. Qur’an adalah kandungannya, adapun Mushaf adalah yang mewadahinya.
Maka, syair adalah kontennya dan musik atau lagu adalah wasilah penyampaiannya. Keduanya saling memiliki keterikatan, tanpa musik, syair tidak bisa dipamerkan. Begitu juga tanpa Mmushaf, Qur’an tak bisa dibaca. Karena itu, maka sah saja menyebut syair sebagai nyanyian.
M𝘂𝘀𝗶𝗸, apapun itu definisinya, baik yang beralat ataupun tidak, bukan suatu masalah. Karena yang hanya nyanyian atau yang dengan alat pun, sejarah mencatat keduanya memiliki hubungan kuat dengan syair. Toh secara definisi, musik bisa dipahami dengan alat ataupun tanpa alat. Begitu juga pemusik, tidak semuanya dipahami musisi, tapi bisa juga penyanyi, dan ini dzohir makna yang UAH maksudkan pada videonya. terkait definisi bisa cek minimal di Wikipedia.
Adapun hukum alat music (Ma’azif), ini khilafiyah yang muktabar. Bukan sesuatu larangan yang didalamnya terdapat Ijmak. Akan tetapi seperti yang diakui Ibn Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari-nya, bahwa ini bukan Ijmak, karena ada sebagian kelompok ulama yang menentang keharaman nya.
Tanpa mendukung salah satu pendapat, sekiranya ketiadaan Ijmak itu sudah cukup. karena kaedah mengatakan,
”لا إنكار في مسائل الخلافية“
“tidak ada pengingkaran dalam masalah khilafiyah”
S𝙚𝙠𝙞𝙖𝙣, 𝙬𝙖𝘼𝙡𝙡𝙖𝙝𝙪 𝙒𝙖𝙡𝙞𝙮𝙮𝙪𝙩 𝙏𝙖𝙪𝙛𝙞𝙦. (*)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News
*) Artikel tersebut sudah dimuat di unggahan FB Muhammad Chandra atas seizin penulis