Ibadah kurban merupakan salah satu amalan yang memiliki tempat khusus, terutama pada saat Iduladha. Namun, hukum melaksanakan ibadah kurban menjadi topik perdebatan di kalangan ulama, dengan pandangan yang berbeda mengenai kewajibannya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa melaksanakan ibadah kurban adalah wajib bagi orang yang berkelapangan. Pandangan ini didukung oleh tokoh-tokoh seperti Rabi’ah (guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad, sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
Mereka berargumen bahwa seseorang yang memiliki kemampuan finansial wajib untuk berkurban sebagai bentuk ibadah dan syukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT.
Di sisi lain, mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa ibadah kurban bersifat sunnah mu’akkadah, yaitu sunah yang sangat ditekankan.
Ibnu Hazm menegaskan bahwa tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabat pun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib.
Pernyataan ini menguatkan pandangan bahwa kurban lebih merupakan anjuran yang sangat ditekankan daripada sebuah kewajiban yang harus dipenuhi.
Perbedaan pandangan ini mencerminkan keragaman interpretasi dalam memahami teks-teks agama dan bagaimana mereka diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam.
Bagi mereka yang berpegang pada pendapat wajib, ibadah kurban menjadi sebuah keharusan yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu, sebagai wujud ketaatan dan kepatuhan.
Sementara itu, bagi yang mengikuti pendapat sunnah mu’akkadah, ibadah kurban adalah amalan yang sangat dianjurkan, namun tidak mengandung konsekuensi dosa jika ditinggalkan, asalkan tidak meremehkan syariat.
Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, memilih pendapat yang kedua, yaitu bahwa kurban hukumnya sunah muakkadah.
Keputusan ini diambil berdasarkan kajian terhadap teks-teks agama dan pertimbangan kemaslahatan umat. Dengan memilih pandangan ini, Muhammadiyah menekankan pentingnya ibadah kurban sebagai amalan yang sangat dianjurkan.
Namun, kurban berubah menjadi wajib jika seseorang bernadzar, misalnya mengatakan, “Saya wajib berkurban karena Allah.”
Atau seseorang telah menentukan hewannya untuk kurban, misalnya menyatakan, “Ini hewan kurban.”
Dalam kasus nadzar, kewajiban tersebut menjadi mengikat karena seseorang telah berjanji kepada Allah untuk melaksanakan kurban, sehingga pelaksanaannya menjadi sebuah tanggung jawab yang harus dipenuhi. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News