Tahun Politik dan Kesadaran Bersikap Kritis
Imam Budi Utomo. foto: kw
UM Surabaya

Tahun politik sungguh menyita perhatian banyak kalangan, tak terkecuali umat Islam. Pergolakan politik berlangsung serius dan tensinya cenderung memanas. Terutama jelang digelarnya perhelatan demokrasi pada 2024 mendatang.

Di tahun politik, kita yang telah memenuhi syarat usia, bakal berpartisipasi mengikuti pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).

Lamat tapi pasti, sejumlah kandidat capres dan cawapres mulai bermunculan. Ada Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Sandiaga Uno, Mahfud MD, Muhadjir Effendi, Muhaimin Iskandar, dan lainnya.

Hal tak jauh beda juga terjadi pada pileg. Kita bakal memilih para wakil rakyat. Dalam perspektif politik, wakil rakyat sebenarnya tak lebih sebagai masyarakat biasa. Hanya saja, lantaran terlibat aktif dalam proses kegiatan politik, dia pun mendapat kedudukan sebagai elite politik.

Dari beberapa referensi politik, setidaknya ada tujuh variabel penting yang menentukan terpilihnya seseorang menjadi elite politik.

Pertama, social background. Ini terkait dengan status sosial dan ekonomi. Misalnya, seorang elite politik yang dari kalangan terpandang. Ia kemudian mendapat kesempatan besar menduduki kekuasaan.

Kedua, political socialization. Dimana ia memiliki kemampuan bersosialisasi untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Itu biasanya dilakukan dengan melempar isu-isu yang menyentuh kepentingan masyarakat.

Ketiga, initial political activity. Faktor pengalaman elite politik yang kenyang ikut organisasi-organisasi politik. Pengalaman itu bisa mendorong kedewasaan dalam berpolitik.

Keempat, apprenticeship. Istilah sederhananya magang. Tak sedikit elite politik sebelum kariernya menanjak menimba ilmu dari seniornya. Ini juga yang mengakibatkan banyak elite yang tidak bisa lepas dari bayang-bayang pendahulunya.

Kelima, occupational variables. Faktor ini terkait dengan kemauan elite menambah wawasan dan pengalaman kerja. Faktor ini kerap diabaikan, sehingga banyak kita saksikan seorang elite sering gagap menyikapi tuntutan masyarakat karena kapasitas intelektualnya.

Keenam, motivations. Ada dua asumsi yang bisa dirujuk dari faktor ini, yakni harapan dan orientasi mencapai tujuan. Dalam pratiknya, tidaklah mudah menyatukan dua kepentingan tersebut. Sehingga jangan heran bila ada elite yang memanipulasi tujuan pribadi (personal needs) menjadi kepentingan masyarakat.

Ketujuh, selection. Ada dua mekanisme rekrutmen politik. Yakni dilakukan secara terbuka yang bisa melihat track record elite yang ikut rekrutmen politik. Dan rekrutmen tertutup yang lebih banyak ditentukan oleh petinggi partai.

Jangan Beri Cek Kosong

Kenyataan sekarang, dibandingkan figur capres dan cawapres, masyarakat banyak yang belum paham siapa sosok-sosok yang bakal menduduki jajaran legislatif. Baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Pertanyaannya, apakah komposisi wakil rakyat mendatang bakal membawa perubahan berarti?

Apakah anggota legislatif produk Pemilu 2024 nanti akan lebih baik daripada produk pemilu sebelumnya?

Sulit menjawabnya sekarang. Akan tetapi kita pantas mawas diri. Paling tidak, jangan pernah menyerahkan kepercayaan dan mandat penuh kepada wakil rakyat nanti.

Ibaratnya jangan sampai kita memberikan cek kosong (blank check) kepada wakil rakyat. Di mana mereka bisa seenaknya memainkan kepentingan pribadinya dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat.

Dibutuhkan sikap yang cerdas untuk menghadapi kondisi sekarang. “Umat Islam harus cerdas dan kuat. Cerdas dalam berpikir, kuat dalam menghadapi tantangan dan rintangan.

Orang cerdas adalah orang yang masih mau menggunakan hati nuraninya di saat melihat ketidakadilan, memiliki nalar dan sikap kritis terhadap segala bentuk ketimpangan dan kezaliman sosial.

Menurut Ibnu Mas’ud, sahabat sekaligus murid nabi Muhammad SAW, berkata, Rasuluallah SAW bersabda kepadaku, “Tahukah kamu, siapakah orang yang paling cerdas itu?’ Ibnu Mas’ud menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”

Dalam hadisnya Rasul menjelaskan, “Orang yang paling cerdas adalah orang yang paling awas melihat kebenaran di kala manusia gemar berselisih paham, meski pun amal perbuatannya minim, meski pun ia hanya bisa merangkak di atas kedua tumit kakinya.”

Nabi Muhammad SAW lalu menjelaskan tiga kelompok tersebut. Pertama, orang yang giat menentang (oposan), raja (penguasa), dan melawannya dengan dasar keyakinan agama Allah SWT sehingga mereka semua terbunuh.

Kedua, mereka yang tidak mempunyai nyali untuk menentang dan melawan penguasa waktu itu, namun mereka menegakkan agama Allah di tengah para pemuka masyarakatnya.

Kemudian mereka menyeru masyarakatnya agar berpegang pada agama Allah SWT (Islam), sehingga mereka kemudian diciduk penguasa dan dibunuh.

Ketiga, mereka yang tidak punya kekuatan melawan raja (penguasa waktu itu) dan tidak juga punya kemampuan untuk mengajak masyarakat dan kaumnya pada agama Allah yang dibawa Isa Ibnu Maryam, sehingga mereka hanya bisa mengembara di pegunungan dan menjadi paderi di sekitarnya.

Mereka inilah orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah (tidak menikah dan mengurung diri di dalam biara), padahal Kami tidak pernah mewajibkannya kepada mereka, namun (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) guna mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.

Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka adalah orang-orang fasik.” (QS al-Hadid: 27).

Karena itu, orang-orang mukmin, kata Nabi SAW, adalah orang-orang yang beriman kepadaku dan membenarkan semua yang kubawa. Sedangkan orang fasik adalah orang-orang yang membohongkanku dan menentangku. (*)

*) Imam Budi Utomo SH, Pengacara dan Anggota Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini