Ini Masjidku, Aku Bangun dari Hartaku, Aku Hhibahkan untuk Muhammadiyah
foto: dok/pri
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf,

Semua orang mengaku sebagai kekasih Laila.
Sedang Laila tak merasa kenal satu pun dari mereka.

***

Masjid milik Allah. Semua umat Islam boleh beribadah tanpa halangan, tidak memandang aliran, manhaj atau ideologi.

Tapi tidak semua orang boleh mengelola.

Masjid NU dikelola dengan cara NU
Masjid Muhammadiyah dikelola dengan cara Muhammadiyah
Masjid Salafi dikelola dengan cara Salafi

Begitulan adab dalam berdakwah

***

Berdiri menyatu persis di halaman depan rumah, di atas tanah seluas 1. 765 meter persegi termasuk halaman rumah, luas bangunan 475 meter persegi, berbahan dasar kayu jati dari lantai hingga atap.

Saya arsiteki sendiri bersama seorang kawan dekat, Mas Gatot, sebagai tukang kayu perajin terbaik.

Prosesnya agak lama. Pertama, karena garapannya rumit. Butuh kejelian kesabaran dan imajinasi agak beda.

Tidak bisa melibatkan banyak orang sebagaimana masjid pada umumnya karena kekhususannya.

Kedua, karena dananya agak besar menurut ukuranku (1,2 meter saat itu) saya kumpulkan mencicil dari hasil menabung: dari gaji, jualan bunga potong, bonsai dan sebagian dari kebun jeruk.

Beberapa jamaah yang berkenan membantu guyub bersama, saya suka dengan ketulusan dan keikhlasan. Berapa pun itu.

Kakek buyutku kerap memberi nasihat: Jangan sampai rumahmu lebih baik dari masjidmu. “Ini kode keras meski saya langgar.”

Bagiku, masjid adalah rumah pertamaku, saya betah di dalamnya ketimbang di rumahku sendiri.

Ayahku lebih kekeh wanti-wanti pada saya dan anak cucunya, “Bagaimana mungkin kamu bekerja keras siang malam membangun mewah tempat tidurmu, sementara tempat sujudmu dari hasil merebut atau mengklaim masjid yang kamu tak pernah berkeringat ikut membangunnya,” katanya lagi.

Saat itu ayahku mendiamkanku karena aku lebih dulu membangun rumah, tapi masjidku mangkrak tidak terurus.

Sejak itu, membangun masjid tempatku sujud menjadi bagian dari doa besarku, tempaku bersama kedua orangtuaku, istri dan dzuriyah-ku sujud menembah kepada Gusti Allah. Aku juga berharap di tempat ini pula aku dimatikan.

Aku beri nama: Masjid Gedhe Padhang Makhsyar. Masjid kedua yang saya bangun bersama keluarga, saya hibahkan untuk Muhammadiyah.

Dan satu lagi, sebuah surau aku beri nama: Banyu Bening. Meski kecil tapi indah menawan. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini