*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf
Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dan Kyai Hasan Abdullah Sahal, pemimpin Pondok Pesantren Gontor memang beda. Keduanya penyuka dan pemain musik.
Bukan hanya musik, perbedaan kita dengan kaum salafiyun sungguh sangat banyak. Salah satunya, salafiyun berpaham mujassimah bahwa Allah punya mata, punya tangan, punya kaki seperti Adam as.
Lantas dengan penuh nafsu Washil berkata: “Allah turun dari mimbar seperti aku, .. jullus istiwa Allah duduk di atas arsy, karena salafiyun menolak takwil dan memahami tekstual, hal mana ditolak secara mutlak para ulama ahlu sunah.
Sebagian besar salafiyun juga berpandangan bahwa mukmin pelaku dosa besar kekal di dalam neraka, berbanding terbalik dengan paham ahlu sunah yang berpandangan bahwa mukmin pelaku dosa besar tetap berhak mendapat rahmat dan syafaat
Dan tidak mengapa kita berbeda. Muhammadiyah yang modernis, dinamis, inklusif, kontekstual, terbuka, toleran, moderat, wasath, tassamuh, tawasud, dan ta’adul.
Berbeda dengan salafiyun yang puritan, stagnan, eksklusif, tekstual, intoleran, kaku, menganut kebenaran tunggal, dan tahdzir.
Dua DNA yang sungguh berbeda jauh.
Salafiyun juga mengharamkan organisasi Muhammadiyah, NU, Tabligh, Tarbiyah, dan lainnya. Karena tiada organisasi, maka setiap salafiyun adalah oknum.
Salafiyun itu menganut romantisme masa lampau, Muhammadiyah modernis.
Muhammadiyah boleh berguru kepada siapapun dengan tidak memandang agama manhaj atau aliran.
Salafiyun hanya boleh mengambil ilmu dari gurunya saja. Mengambil ilmu kepada yang tidak se-manhaj dianggap haram.
Saya tak hendak menghakimi, hanya mendiskusi sebua fenomena. Demikian kesimpulan diskusi sore ini di Komunitas Padhang Makhsyar.