Nabi justru merasa heran, di saat resepsi walimah yang berbahagia di Madinah saat itu, kenapa malah tidak ada musik?
Islam tidak sulit dan sesempit tempurung hingga mengharamkan sesuatu tanpa alasan. Islam sudah sejak lama menyentuh aspek-aspek baik di setiap unsur kehidupan yang bahkan belum terpikirkan oleh kita sebelumnya.
Terlepas dari ikhtilaf Ulama dalam hukum fiqih-nya, secara istilah kata musik (Al-Musiqo) sudah dipakai sejak zaman Abbasiyah dalam kitab Ibnu Sina “Asy-Syifa (Ar-Riyadhiyat): Jawami’ Ilmu Musiqo”.
Dasar-dasar pembolehan syair sejak zaman Nabi hidup sampai zaman Kekhalifahan Abbasiyah, (baik dengan musik ataupun tanpa alat musik), merupakan dalil terbesar yang pernah ada untuk membolehkan mendengarkan syair, selama itu baik, tidak mengandung maksiat dan tidak melalaikan dari mengingat Allah SWT.
Jadi, bukanlah sebuah hal yang baru apabila Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) diartikan oleh UAH secara kontekstual menjadi (Surah Para Pemusik), karena memang pada dasarnya syair-syair Arab itu memang memiliki unsur “musiqo syi’ir” atau musik syair tersendiri, yaitu ketukan nada pada Bahar dan Qawafi-nya.
Sehingga bukanlah syair Arab apabila tidak ada unsur musiknya, dan tidak akan tercipta musik dalam dunia Islam tanpa adanya syair Arab. Keduanya bagaikan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan, dan siapa pun yang membaca sejarah akan dapat melihatnya. (*)
*) Artikel ini tayang di suaramuhammadiyah.id
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News