12 Ciri Manusia Bahagia dan Beruntung
UM Surabaya

Nabi Muhammad SAW menegaskan perihal orang beruntung dalam riwayat ’Abdullah bin ’Amr bin al-’Ash RA:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ هُدِىَ إِلَى الإِسْلاَمِ وَرُزِقَ الْكَفَافَ وَقَنِعَ بِهِ

”Sungguh beruntung orang yang diberi petunjuk dalam Islam, diberi rezeki yang cukup, dan qanaah (merasa cukup) dengan rezeki tersebut.” (HR Ibnu Majah).

Pertama tanda orang beruntung adalah memiliki iman yang benar. Keimanan adalah perkara utama yang menjadi faktor keberuntungan, di dunia maupun akhirat kelak.

Dalam surat Ali Imran ayat 102, Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”

Maka, dalam menjalani kehidupan seorang mukmin hendaknya teguh mempertahankan iman dan Islam. Jangan sampai pernak-pernik duniawi justru menjauhkan diri dari komitmen berislam.

Kedua, dalam hadits yang sama, Rasulullah SAW juga menyatakan, orang Muslim yang telah dikaruniai rezeki yang cukup adalah beruntung.

Islam mengajarkan bahwa konsep rezeki tidak melulu berkaitan dengan materi. Bahkan, pemberian yang paling berharga dari Allah SWT justru kerap tidak tampak mata.

Nikmat paling besar adalah Islam dan iman. Tanpa keduanya, seluruh usia di dunia ini hanyalah sia-sia, khususnya begitu ajal menjelang. Maka, jadikanlah syukur sebagai jalan kehidupan.

Dalam Ihya Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali mengatakan, hakikat syukur adalah menghayati bahwa hanya Allah SWT satu-satunya pemberi nikmat.

Ketiga, qanaah yaitu rela menerima apa-apa yang telah dikaruniakan. Qanaah dapat pula diartikan sebagai merasa cukup.

Karakteristik itu lahir dari kesadaran diri sebagai hamba Allah SWT. Seseorang yang qanaah meyakini bahwa Allah SWT telah menetapkan rezeki pada tiap-tiap makhluk-Nya. Maka, jangan khawatir. Tidak perlu pula dengki kala melihat kebahagiaan orang lain.

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

“Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS al-Isra ayat 30).

Keempat, berhenti menilai dan menghukum orang lain, tetapi fokus untuk merubah diri sendiri. Jagalah mulut dari menyakitkan hati orang lain apabila bercakap. Jangan gunakan sosial media untuk perkara perkara yang menyakitkan hati orang lain.

Kelima, kita boleh menerima orang lain seadanya. Kita paham makna perbedaan pendapat. Tidak perlu taasub dengan pendapat masing-masing.

Imam Syafi’i ra berpesan, “Menghormati pandangan orang lain walaupun tidak setuju dengan pendapatnya maka orang juga akan menghormati pendapat diri kita.”

Keenam, kita berani melepaskan kenangan lama yang pahit. Tidak dendam dan simpan dalam hati yang paling dalam apalagi sampai diwariskan kepada anak turunan.

Ketujuh, kita berhenti mengharap dan meminta dari orang, tetapi mulailah memberi. Biarlah sedikit kita memberi, tetapi jangan senantiasa berharap dan meminta-minta terus. Minta dan harap hanya pada Allah, insya Allah bahagia.

Kedelapan, kita melakukan sesuatu, hanya untuk mendapat rida-Nya. Melakukan sesuatu bukan untuk mendapat penilaian, pujian dan penghargaan manusia. Tidak tersinggung bila dicela, dicerca, dan dihina orang.

Kesembilan, kita berhenti menilai keburukan orang lain. Disisi buruknya tentu ada sisi baiknya. Mulai belajar menghargai orang lain tentu akan bahagia.

Kesepuluh, kita berhenti membandingkan nasib kita dengan nasib orang lain. Tidak iri hati, dengki dan sakit hati melihat kelebihan orang lain.

Kesebelas, kita harus bedakan keinginan dan keperluan, lalu mengutamakan keperluan dari keinginan. Hiduplah dalam standar diri. Jangan banyak gaya yang akan menyusahkan diri dan keluarga.

Keduabelas, kita berhenti meletakkan nilai kebahagiaan pada kebendaan karena Bahagia itu urusan hati. Bhagia tidak dapat dinominalkan. Bahagia dan keberuntungan tergantung kepada sikap hati kita (mind set). (*/tim)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini