Sastra Masuk Kurikulum Merdeka, Ini Penilaian Pakar UM Surabaya
foto: jp/nethy dharma somba

Kementrian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan menerapkan sastra masuk dalam Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran baru 2024/2025, khususnya untuk jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo, ia mengatakan bawa sastra akan masuk ke dalam pembelajaran di sekolah dengan bentuk co-kurikuler, sehingga mata pelajaran harus memasukkan karya sastra sebagai penunjang sumber informasi bagi siswa.

Kebijakan tersebut direspons oleh Sri Lestari, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris UM Surabaya. Tari yang juga pengampu mata kuliah sastra mengatakan, masuknya sastra dalam kurikulum sekolah perlu diapresiasi karena sastra memiliki fungsi selain sebagai hiburan, sastra juga memiliki fungsi edukatif.

“Pada konteks edukatif, karya sastra memiliki nilai-nilai yang dapat diinternalisasikan melalui cerita-cerita yang menarik yang tentu karena fungsinya sebagai hiburan, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat terinternalisasi secara tidak sadar pada pemahaman anak-anak,” ujar Tari, Rabu (21/5/2024)

Tari menjelaskan, sastra menjadi medium efektif untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter karena memang kita bisa melihat banyak pembelajaran dari karya sastra yang kita baca.

“Sastra memiliki kaitan langsung dengan kehidupan karena menceritakan segala peristiwa mulai dari sejarah hingga masa depan. Selain itu, bagi anak-anak, sastra memiliki peran dalam mengembangkan bahasa, kognitif, afektif, psikomotorik, hingga karakter dan kepribadian,” jelasnya.

Dalam perannya sebagai medium pembelajaran, pemilihan karya sastra sangat penting untuk diperhatikan. Jika implementasinya diwajibkan dalam kurikulum, tentu pemerintah, sekolah, dan guru wajib untuk mempertimbangkan karya sastra seperti apa yang akan dibaca oleh siswa karena itu berkaitan dengan nilai-nilai apa yang ingin diajarkan.

“Jangan sampai sastra yang diajarkan justru mengandung perspektif yang patrialkal, tidak ramah kepada perempuan, merusak toleransi, atau yang tidak ekologis. (ded)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini