Sedikitnya 10 juta Gen Z di Indonesia kini menganggur. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 9,9 juta anak muda usia 15-24 tahun di Indonesia yang tidak beraktivitas produktif dari total 44,47 juta anak muda usia 15-24 tahun atau sekitar 22,25 persen pada Agustus 2023.
“Tingginya angka pengangguran Gen Z tentu mengejutkan kita semua. Pasalnya, dalam wacana publik Gen Z kerap dicitrakan sebagai generasi yang kreatif, adaptif, melek teknologi dan label-label fantastis,” ujar Radius Setiyawan, Dosen Kajian Budaya dan Media Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Rabu (22/5/2024).
Menurutnya, fenomena soal citra Gen-Z yang banyak dibicarakan di ruang publik bisa jadi berbeda dengan realitas sebenarnya.
Dalam konteks Indonesia kita menemukan banyak Gen-Z yang kurang beruntung dalam hal pekerjaan dan kesuksesan.
“Banyak sekali Gen Z yang tidak punya privilege dan harus berjuang mati-matian dengan segala keterbatasan untuk bisa bertahan hidup dan mendapatkan pekerjaan. Perbedaan antara citra Gen-Z di ruang publik digital dan realitas jelas menimbulkan persoalan. Anak muda hidup dalam gelembung citra yang jelas mengkhawatirkan,” tutur Radius.
Menurut dia, narasi pemerintah dan pemberitaan media kepada Gen Z justru menunjukkan bias kelas.
Artinya, wacana Gen Z yang muncul di media sebenarnya didominasi oleh mereka yang memiliki privelege atau golongan menengah ke atas.
Sementara Gen Z kelas bawah yang jumlahnya jelas lebih banyak kehadirannya kurang mendapat perhatian.
Radius menegaskan, tingginya angka pengangguran tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Anak muda kelas menengah ke bawah yang jumlahnya cukup besar dan tidak mempunyai privelege harus menjadi perhatian dan mendapatkan akses khusus atau fasilitas.
Menurutnya, dalam banyak ruang kampanye politik, anak muda sering kali menjadi bahan komoditas untuk mendulang suara.
Fenomena tingginya angka pengangguran adalah bukti bahwa narasi anak muda hanya sebagai objek yang dieksploitasi.
“Artinya Gen Z yang tidak memiliki privelage ini tidak hanya dijadikan komoditas politik dan dibicarakan jelang kontestasi politik saja, namun dalam praktiknya juga harus mendapatkan perhatian serius dan dilibatkan dalam kebijakan,” tegasnya
“Kalau hal tersebut dilakukan akan mampu menekan jumlah pengangguran dan menyelesaikan beragam persoalan yang ada,” tutup Radius. (ded)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News